Connect with us

LIPUTAN

Hari Film Nasional: Riwayatmu Dulu

Published

on

Hari Film Nasional

Tiap 30 Maret kita merayakan Hari Film Nasional. Tanggal itu sebetulnya sudah diputuskan sejauh 1962, sebagaimana terekam dalam dokumen notulensi Musyawarah Film Indonesia yang disimpan di Sinematek Indonesia dan Arsip Nasional Republik Indonesia.

Dalam musyawarah yang dilaksanakan pada 11 Oktober 1962 di Wisma Nusantara, Jakarta, notulen mencatat bahwa pemilik Studio Persari dan produser film, Djamaluddin Malik, mengajukan usul kepada Dewan Film Indonesia saat musyawarah hampir usai.

Djamaluddin mendesak ketua Dewan Film Indonesia, Kolonel Sukardjo, agar penetapan Hari Film dilakukan bersama-sama, “… apakah pada hari penerimaan Lencana Wijayakusuma, apakah pada hari yang ditentukan dari Departemen PDK, apakah hari pada waktu film Indonesia yang pertama diedarkan, apakah hari pembuatan film yang pertama (sebagai Hari Film)? Film yang pertama yang dibuat oleh swasta adalah film Long March. Itu produksi film nasional dengan segala sejarahnya.”

Kita tahu bahwa film yang dimaksud Djamaluddin adalah Darah dan Doa – Long March of Siliwangi (1950), karya sutradara Usmar Ismail. Ketua Dewan Film Indonesia Sukardjo tercatat akur dengan usul itu. “Cocok. Setuju semua?”

Buku Merayakan Film Nasional (2017) terbitan Direktur Sejarah Direktorat Jendral Kebudayaan, mengajukan pertanyaan menggelitik: Mengapa butuh waktu sampai 37 tahun sebelum tanggal 30 Maret resmi dijadikan Hari Film Nasional oleh negara?

Hari Film Nasional ditetapkan melalui Keputusan Presiden RI No.25/1999, berarti nyaris empat dasawarsa setelah lontaran Djamaluddin dalam musyawarah film tadi. Dalam kurun di antaranya, majalah aksi mencatat perfilman Indonesia mengalami sedikitnya dua kali kebangkitan, pada awal 1970an, dan kemudian (sesuai catatan Direktur Sejarah Triana Wulandari) suatu masa keemasan industri film, pada dasawarsa 1980an.

Dalam kurun itu muncul para nama besar perfilman Indonesia, antara lain D. Djajakusuma, Asrul Sani, Sjumandjaja, Ami Prijono, Wim Umboh, Arifin C. Noer, Teguh Karya, tiga sutradara perempuan, Chitra Dewi, Ida Farida, dan Sofia WD – dan, tentu saja, Usmar Ismail sendiri.

Jadi ada apa dalam 37 tahun itu?

Saat peringatan Hari Film Nasional paling pertama di lstana Negara pada 30 Maret, 1999, Presiden B.J. Habibie memuji Usmar Ismail — yang kala itu sudah lama jadi almarhum — atas karya-karyanya yang mencerminkan kepribadian bangsa dan tidak selalu tergoda komersialisme.

Menengok sejarah, kita ingat bahwa pada tahun 1960an, Indonesia tengah tersodok suatu badai kontestasi pemikiran dan ideologi. Tawaran menetapkan Hari Film Nasional dengan merujuk pada karya Usmar Ismail dengan warna nasionalisme anutannya mendapat tentangan sengit, antara lain dari para sineas golongan kiri. Mereka anggap karya-karya Usmar Ismail justru tidak nasionalis, dan bahkan “kontra-revolusioner”.

Kita ketahui bahwa pas tiga tahun setelah musyawarah film yang memulai kisah kita, peristiwa 30 September 1965 meledak, mengoyak seluruh sendi-sendi kebangsaan. Wacana Hari Film Nasional terkubur di antara puing-puing rasa syok masyarakat — sampai saat dihidupkan kembali pada 1980an, dan lalu diputuskan tahun 1999.

Buku Merayakan Film Nasional mengingatkan kita akan satu kenyataan yang mahapenting: Meski terhuyung-huyung dengan syok G30S, dan bahkan kendati menderita trauma (yang sampai hari ini masih belum pulih sempurna), perdebatan masyarakat tentang definisi film nasional tidak pernah surut selama kurun-antara tadi. Perdebatan berkesinambungan itu yang nantinya menjadi fondasi penetapan Hari Film Nasional, sebuah perdebatan panjang lintas-generasi pelaku perfilman.

 Berbagai dialektika mencuat dalam dunia perfilman, pertentangan pemaknaan film antar pemangku kepentingan, serta kontroversi antara sinema idealis dan pengembangan industri. Namun pada 1960an, arus bawah yang paling terasa adalah pergulatan politik partisan.

Tulisan ini di penghujung akan buka kembali diskursus usaha pembentukan identitas “film Indonesia”, karena berdekade kemudian, penting untuk kita angkat apa yang Triana Wulandari sebut merupakan  “pertanyaan yang paling dihindari: apakah masih relevan memperbincangkan idiom ‘film nasional’ dalam konteks Indonesia saat ini?”  

Namun baik kita berstrategi awal untuk  coba selami perdebatan dengan kata-kata Usmar Ismail sendiri. Dalam buku Usmar Ismail Mengupas Film (1983), sutradara kelahiran Bukittinggi itu menulis,”Meskipun saya telah membuat dua film sebelum Darah dan Doa, film itu saya rasakan sebagai film saya yang pertama. Karena buat pertama kalinya, sebuah film diselesaikan seluruhnya, baik secara teknis-kreatif mau pun secara ekonomis, oleh anak-anak Indonesia. Buat pertama kalinya pula, film Indonesia mempersoalkan kejadian-kejadian yang nasional sifatnya.”

 Usul Djamaluddin Maik dalam musyawarah 1962 mendudukkan Usmar dengan Darah dan Doa-nya sebagai pelopor film Indonesia. Usmar yang aktif dalam teater, pernah bekerja pada unit propaganda pemerintah penjajah Jepang sebagai penulis naskah dan terbitan lain. Ia sempat menyutradarai Harta Karun dan Tjitra untuk SPCC, perusahaan film asal Belanda. Darah dan Doa, yang ia klaim sebagai film pertamanya, diproduksi oleh Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini) yang ia dirikan bersama Rosihan Anwar, iparnya.

Berbagai kajian perfilman menunjukkan bahwa dari sekian karya Usmar, Darah dan Doa merupakan karyanya yang paling dihormati.  Menurut buku Merayakan Film Nasional, film Darah dan Doa jadi acuan sebagai perumusan konsep film nasional karena antara lain menceritakan perjuangan militer sebagai inti pembentukan Indonesia modern — melawan tidak hanya Belanda, tapi juga ancaman-ancaman persatuan bangsa.

Pengamat film Salim Said mengatakan bahwa film-film Usmar Ismail adalah “film Indonesia karena ceritanya tentang manusia di bumi Indonesia”.

Usmar Ismail tentu saja tidak berdiri sendiri.  Pada 1950an awal, berbagai seniman dan penulis bermunculan untuk mencanangkan suatu budaya baru dan merumuskan sensibilitas ‘Apa Itu Menjadi Indonesia’.

Kontribusi paling signifikan datang dari lingkar sastra, tepatnya para pegiat Angkatan ·45, dengan Chairil Anwar di garda depan. Asrul Sani muncul dari kawanan tersebut dan lalu mencetak nama tersendiri dalam perfilman nasional. Dari semua seni yang dicoba-gunakan untuk mendefinisikan Indonesia, boleh jadi film medium paling akhir yang dikibarkan para seniman nasionalis.

Memang, film merupakan medium efektif untuk mewujudkan dan menyebarluaskan gagasan budaya ‘rasa Indonesia’ kepada masyarakat yang kala itu mungkin masih gamang tentang kemerdekaannya.

Menurut Misbach Yusa Biran dalam buku Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film Di Jawa (1993), pemanfaatan film yang dibayangkan para seniman nasionalis terinspirasi dari proses belajar yang mereka dapatkan kala bekerja dalam unit propaganda Jepang. Misbach ingat bahwa, “…kedatangan Jepang di negara ini berikut film-film propagandanya… membuat goncangan besar sekali pada pikiran bangsa Indonesia mengenai fungsi film dan membawanya kepada pemikiran baru”.

 Usmar Ismail sepakat dengan pendapat ini. “Barulah pada masa Jepang,” tulisnya, “orang-orang sadar akan fungsi film sebagai alat komunikasi sosial. Dalam hal ini tampak bahwa film mulai tumbuh dan mendekatkan diri kepada kesadaran perasaan kebangsaan.”

Bagi Misbach, syarat utama untuk benar-benar menerapkan film nasional adalah kemerdekaan politik. Dalam pengantar Sejarah Film 1900-1950, ia·menulis, “Film buatan dalam negeri mulai dibuat pada 1926. Namun, film-film yang dibuat sampai 1949 belum bisa disebut sebagai film Indonesia. Hal ini disebabkan film yang dibuat pada masa itu tidak didasari kesadaran nasional.”

Bagi Misbach, semua film ‘Indonesia’ pada masa kolonial dibuat hanya untuk mencari uang dengan misi sekadar memberikan hiburan yang melenakan. Untuknya, film-film sebelum kemerdekaan masuk daftar “sejarah pembuatan film di Indonesia”, tapi tidak bisa masuk daftar “sejarah film Indonesia”.

Setelah argumen-argumen ini, kita kembali ke pertanyaan tadi: Mengapa 30 Maret sebagai hari pertama shooting Usmar Ismail untuk Darah dan Doa terus sukar diterima secara aklamasi selama 37 tahun?

Patut dicatat terdapat beberapa tanggal yang ikut bergentayangan dalam ‘lomba seleksi’ sebagai Hari Film Nasional.

Pada 1964, pegiat perfilman komunis mengusulkan 9 Mei sebagai Hari Film, karena itu adalah tanggal pendirian PAPFIAS [Panitia Aksi Pemboikotan Film lmperialis Amerika Serikat). Aksi itu sukses menghentikan pemutaran film-film Amerika di seluruh Indonesia, bahkan kemudian semua film dari negara Barat yang dianggap “antek” AS. Sebagai pengganti, mereka memasukkan film-film dari Rusia, Republik Rakyat Cina, dan negara-negara sosialis lain. Tapi usul tersebut kontan gembos setelah peristiwa 30 September.

Gagasan mengenai Hari Film Nasional baru muncul lagi pada 1980an, ketika situasi politik dan kondisi perfilman telah stabil. Dewan Film Nasional, kelompok pemikir Menteri Penerangan, kembali mewacanakan 30 Maret sebagai Hari Film Nasional untuk dijadikan keputusan bersama. Ternyata usaha itu tersendat, karena Perusahaan Film Negara (PFN) mengusulkan 19 September  dan 6 Oktober.

Menurut catatan pengkaji film Totot Indrarto, pertimbangan 19 September diambil dari tanggal syuting pidato pertama Presiden Sukarno di Lapangan lkada (sekarang Lapangan Monas). Peliputan rapat umum yang terjadi satu bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan RI itu dianggap mengandung nilai kepahlawanan. Situasi saat itu masih genting. Rapat akbar itu dijaga tentara Jepang. Juru kamera Berita Film Indonesia (BFI — yang lalu berubah nama menjadi PFN) merekam peristiwa bersejarah sangat berbahaya dengan penuh keberanian, sehingga menurut PFN patut menjadi tonggak untuk dikenang. Sementara itu, 6 Oktober merupakan tanggal penyerahan perusahaan Nippon Eiga Sha oleh penguasa Jepang kepada pemerintah Indonesia, yang kemudian menjadi Badan Film Indonesia dan PFN.

Usul 6 Oktober langsung ditolak, karena tidak mengandung idealisme atau nilai perjuangan. Jadi tinggal dua usul tanggal: 30 Maret, dan 19 September. Demi menghindarkan konflik, pada  awal 1990, Dewan Film Nasional memutuskan menjaring pendapat soal Hari Film. Anggota DFN, Soemardjono, ditunjuk untuk memimpin pertemuan sejumlah orang yang terlibat dalam perrkembangan sejarah film, di gedung Badan Sensor Film (BSF). Pelbagai pendapat dilemparkan peserta pertemuan, yang secara umum menganggap kedua tanggal yang diusulkan mempunyai kekuatan masing-masing. Tanggal 19 September berkaitan dengan peristiwa revolusi, sebagaimana lazimnya hari-hari peringatan nasional.

Seorang peserta pertemuan, Alwi Dahlan, yang terlibat dalam perfilman pada 1950an bersama Usmar Ismail, dan beberapa kali jadi juri Festival Film Indonesia (FFl) memberikan pertimbangan. Menurutnya, kedua tanggal penting, namun 19 September lebih merupakan peristiwa jurnalistik.  Baginya, Hari Film Nasional yang perlu ditetapkan adalah untuk memperingati pembuatan film cerita.

Praktis pilihan untuk Hari Film jadi tinggal satu. Meski demikian, DFN menetapkan 30 Maret sebagai Hari Film Nasional baru setelah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman diterbitkan. Bersamaan dengan ketetapan UU itu, film Darah dan Doa dinobatkan sebagai film Indonesia pertama, karena disutradarai oleh orang Indonesia asli, diproduksi oleh perusahaan film Indonesia, dan diambil gambarnya di Indonesia.

Misbach Yusa Biran dalam bukunya mendukung penuh pemikiran ini, karena menurutnya, film tersebut mencerminkan kesadaran nasional dan mengisyaratkan lahirnya sejarah film Indonesia. “Biarpun film yang pertama dibuat di Indonesia tidak dilakukan oleh Usmar Ismail, dan biarpun sebelumnya almarhum Andjar Asmara telah berjuang untuk melekatkan istilah Indonesia pada film-film berbahasa Melayu yang dibuat di Indonesia yang kala itu disebut Hindia Belanda, tetapi baru Usmarlah orang pertama yang mengaitkan film yang ia buat dengan peristiwa nasional yang menyangkut nasib seluruh bangsa Indonesia.”

Hari Film Nasional – Sorong Ke Kiri, Sorong Ke Kanan

Ternyata ada alasan menarik mengapa 30 Maret masih harus melewati jalan panjang berliku dulu sebelum akhirnya diterima empat dekade kemudian.

Hal ini digali oleh Johan Tjasmadi dalam artikel yang ditulisnya pada 1997 berjudul Peningkatan SDM di Bidang Perfilman Indonesia (dimuat dalam Apresiasi Film Indonesia 2 – 1997). Dalam ulasannya, Johan menjabarkan konstelasi filmmaker Indonesia yang mengenyam pendidikan di luar negeri.

Setelah Kemerdekaan, tulisnya, perfilman Indonesia dikerjakan oleh tenaga-tenaga yang notabene orang-orang otodidak. Menurut catatan Majalah Aksi, karena khawatir sebagai negara terbesar di Asa Tenggara, Indonesia berkemungkinan terjerat komunisme, Amerika Serika (kemudian disusul Inggris) menawarkan pendidikan formal perfilman.

 Salah satu sineas yang diberikan beasiswa adalah Usmar Ismail, yang pergi berguru ke AS pada tahun 1952. Usmar diundang oleh presiden Yayasan Rockefeller pribadi, Charles Fahs, untuk belajar di Universitas California, Los Angeles. Selama satu tahun, Usmar menekuni sinematografi di Hollywood, dan bahkan sempat bertemu dengan beberapa pejabat perfilman Amerika.

Usmar bukan orang pertama yang berguru ke AS. Sebelumnya, Rosihan Anwar lebih dulu menerima beasiswa Rockefeller ke Amerika Serikat pada 1949. Rosihan menekuni dramaturgi di Universitas Yale selama kurang lebih satu tahun. Rosihan, dalam bukunya Petite Histoire Indonesia Volume 2 (2004) bercerita,  ia meyakinkan Fahs bahwa Usmar calon yang tepat diberikan beasiswa untuk menekuni sinematografi di Amerika.

Selain beasiswa Rockefeller, kucuran dana untuk pendidikan perfilman juga datang dari dana Colombo Plan sejak Januari 1950. Berdasarkan catatan Daniel Oakman dalam Facing Asia: A History of the Colombo Plan (2010), program rumusan Persemakmuran Inggris itu dicanangkan untuk  peningkatan ketrampilan teknologi bagi kalangan penerima beasiswa — dan film termasuk sebagai salah satu tawaran.

Krishna Sen dalam buku Kuasa dalam Sinema: Negara, Masyarakat dan Sinema Orde Baru (2009), merekam bahwa sejak 1950, pegawai PFN maupun perorangan banyak yang berangkat ke luar negeri berkat program Technical Cooperation Administration (TCA) pemerintah AS dan Colombo Plan tersebut. Skema beasiswa Colombo Plan di bidang perfilman terus berlangsung sampai  tahun 1960-an. Turino Djunaidi salah seorang yang berangkat ke Tokyo untuk belajar film tepat satu tahun sebelum meletusnya peristiwa 1965.

Sebaliknya, Misbach Yusa Biran menulis dalam Kenang-Kenangan Orang Bandel (2008), bahwa dirinya mendapat tawaran beasiswa perfilman dari pemerintah Uni Soviet. Bersama dua orang lainnya, Misbach dijadwalkan berangkat pada 1956 untuk mendalami penulisan skenario.

 Rencana Misbach tersebut mendapat tentangan hebat dari Nya’ Abas Akub. Akub yang saat itu sudah mengantongi beasiswa dari Yayasan Rockefeller mewanti-wanti Misbach, bahwa jika Misbach sampai berangkat ke Rusia, maka selamanya ia takkan pernah mendapat beasiswa dari Amerika. Akibat bujukan Abas, Misbach urung berangkat. Ternyata bagi Misbach, model pendidikan film Amerika nampaknya jauh lebih unggul.

Beasiswa Misbach akhirnya diambil Sjuman Djaya, yang lalu menjadi siswa di Institut Sinematografi Moskow pada tahun 1957. Pada akhirnya, Misbach tidak jadi melanglang ke luar negeri karena Rockefeller Foundation mendapat kecaman dari kelompok komunis.

Di ujung 1950-an, seniman-seniman film yang baru pulang dari  pendidikan di negara-negara Barat kontan dijadikan bulan-bulanan oleh para lawan politik. Oleh para simpatisan geolongan kiri dan PKI, mereka dituding merupakan agen imperialis. Tentu saja, ikut dituduh adalah Usmar Ismail.

Pada 1979, sentimen tentang keindonesiaan dan nasionalisme film disuarakan oleh sutradara Soemardjono. la menggariskan tiga hal yang paling patut menjadi dasar dari film nasional: 1. Film Nasional harus merupakan produk kebudayaan Bangsa Indonesia. 2. Film Nasional harus dapat menggantikan dominasi film asing, seperti halnya Bangsa Indonesia berhasil merubuhkan dominasi kolonialisme. 3. Film Nasional harus mampu mengabdi kepada Bangsa dan Negara Indonesia dalam pembangunan watak dan kebangsaan Indonesia.

Argumentasi mana membawa kita pada apa yang disebut Triana Wulandari merupakan pertanyaan yang paling dihindari: “Apakah masih relevan memperbincangkan idiom ‘film nasional’ dalam konteks Indonesia saat ini?” Majalah Aksi ingin menambahkan frasa: “.. dan dalam konteks era digital?”

Majalah Aksi mengundang Anda untuk mengirim ulasan pendapat Anda mengenai pokok yang terakhir ini.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LIPUTAN

MINIKINO FILM WEEK 8: Post Festival Roadshow Jakarta

Published

on

MINIKINO FILM WEEK 8: Post Festival Roadshow Jakarta

Kamis, 10 Desember 2022

Post Festival Roadshow adalah sebuah acara penayangan kompilasi film pendek pemenang Minikino Film Week 8 (MFW 8) yang sempat dihelat pada 2-10 September 2022 oleh Minikino di Bali. Roadshow ini diselenggarakan di 8 kota: Aceh, Cirebon, Jakarta, Kupang, Padang Panjang, Palu, Tangerang, serta Yogyakarta dan berlangsung selama bulan Oktober-November. Teruntuk di Jakarta, penayangan bertempat di Goethe-Institut, tanggal 9 November 2022. Adapun acara ini didukung langsung oleh Kemendikbud, Dana Indonesiana, dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP)

Film-film pendek yang ditayangkan hadir dengan keberagamannya masing-masing. Penonton disuguhkan enam film pendek dari enam negara yang berbeda. WORK IT CLASS, Pol Diggler/Spanyol (MFW8 Best Programmer’s Choice), MORA MORA, Jurga Seduikyte/Lithuania (MFW8 Best Children Short), EYES AND HORNS, Chaerin Im/Korea Selatan (MFW8 Best Animation Short), ANGLE MORT, Lotfi Achour/Prancis (MFW8 Best Audio Visual Experimental Short), THE SOUND OF THE TIME, Jeissy Trompiz/Kolombia (MFW8 Best Documentary Short), serta WARSHA, Dania Bdeir/Lebanon (MFW8 Best Short Film of The Year 2022).

“Semoga tontonan malam ini bisa memperbaiki batin kita semua.”

Ucap Edo Mulia selaku festival director dari MFW 8 sesaat sebelum film pertama diputar.

Edo pun menjelaskan bahwa Minikino Film Week adalah festival film internasional yang memiliki fokus pada penayangan film pendek. Festival ini berlangsung setiap tahun dan sudah diselenggarakan sejak 2015. “Rata-rata tiap tahun kami menerima 900 film pendek yang pada akhirnya terkurasi menjadi 200 film” ucapnya.

Jika melihat dari laman resmi Minikino, perhelatan ke-9 Minikino Film Week (MFW 9) akan berlangsung pada 15 September 2023 sampai 23 September 2023. Untuk periode submisi filmnya sendiri akan mulai dibuka pada 1 Desember 2022 sampai 30 April 2023.

Di akhir acara, pihak Minikino melakukan sesi Q&A bersama para penonton selama kurang lebih selama 15 menit. Teman-teman volunteer penyelenggara Roadshow ini pun dikumpulkan di depan panggung selama sesi Q&A berlangsung. Teman-teman volunteer Post Festival Roadshow ini adalah teman-teman yang juga membantu penyelenggaran Minikino Film Week ke-8 September lalu. Dalam sesi QnA, Edo menjelaskan bahwa rangkaian acara Post Festival Roadshow akan ditutup di Aceh sebagai kota terakhir perhelatan acara ini yang akan berlangsung pada Jumat, 11 November 2022.

Micko Boanerges

Continue Reading

LIPUTAN

PIALA CITRA FFI 2022: Dedikasikan untuk Para Perempuan yang Penuh Citra, Karya dan Karsa

Published

on

PIALA CITRA FFI 2022

Piala Citra Festival Film Indonesia kembali diadakan pada tahun ini di tanggal 22 November 2022. Acara tersebut dihadiri oleh begitu banyak filmmaker dan pemain film Indonesia, diantaraya yang menerima nominasi untuk bakat serta karya film mereka masing-masing. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, Festival Film Indonesia memiliki sejumlah kategori dengan para pemenangnya yang membawa pulang Piala Citra.

Pengumuman pemenang dimulai dari kategori Film Animasi Pendek Terbaik yang diraih oleh film Blackout karya sutradara Faiz Azhar dan diikuti oleh M. Reza Fahriansyah untuk Dancing Colors di kategori Film Cerita Pendek Terbaik. Gemailla Gea Geriantiana memenangkan piala untuk film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas sebagai Penata Busana Terbaik dan Eba Sheba menang untuk film Kadet 1947 sebagai Penata Rias Terbaik. Putri Marino sebagai Pemeran Pendukung Perempuan Terbaik dalam film Losmen Bu Broto dan Slamet Rahardjo Djarot untuk film Cinta Pertama, Kedua dan Ketiga. Ketika menemui para wartawan media di Press Room, Pak Slamet memberikan sebuah kata mutiara.

“Dari tahun 70 ya, sampai sekarang, saya masih berada di sini. Dan pesan saya cuma satu, karena banyak sekali sekarang, aktor dan aktris yang berpatuh saya cuma titip, cintailah pekerjaanmu jika kamu telah menetapkan hidup adalah profesimu,” ucap Pak Slamet. Beliau telah meraih Piala Citra 6 kali dan dua diantaranya adalah untuk kategori Pemeran Utama Pria di Festival Film Indonesia.

Penghargaan Khusus Dewan Juri Akhir untuk Film Cerita Pendek diberikan kepada film Membicarakan Kejujuran Diana karya sutradara Angkasa Ramadhan. Penghargaan berikutnya adalah kategori Penata Efek Visual Terbaik yang dimenangkan oleh Abby Eldipie untuk film Pengabdi Setan 2: Communion. Akhmad Fesdi Anggoro memenangkan kategori Penyunting Gambar Terbaik sedangkan Ricky Lionardi memenangkan kategori Penata Musik Terbaik, keduanya untuk film Before, Now & Then (Nana). Andi Rianto dan Monty Tiwa berkolaborasi dalam film Backstage yang mendapat penghargaan Pencipta Lagu Tema Terbaik. Selanjutnya, Piala Citra untuk kategori Penata Suara Terbaik diberikan kepada Mohamad Ikhsan dan Anhar Moha dalam film Pengabdi Setan 2: Communion.

Film Before, Now & Then (Nana) kembali memenangkan dua kategori berikutnya yaitu, Vida Sylvia sebagai Pengarah Artistik Terbaik dan Batara Goempar, I.C.S. sebagai Pengarah Sinematografi Terbaik. Batara Goempar merupakan salah satu alumni Institut Kesenian Jakarta. Rina Melati merupakan aktris senior yang sudah wafat dan memenangkan penghargaan Pengabdian Seumur Hidup untuk Film tahun ini. Keluarganya naik ke atas panggung untuk menerima Piala Citra sebagai perwakilan sambil menahan tangisan. Atas nama Almarhumah, Penghargaan Rima Melati dengan kategori Aktris Pilihan Penonton diberikan kepada Aghniny Haque dalam film Mencuri Raden Saleh.

Alumni sekaligus dosen aktif FFTV IKJ, Erina Adeline Tandian, berhasil meraih Penghargaan Tanete Pong Masak untuk kategori karya Kritik Film Terbaik dengan karya Perempuan Sebagai Ilusi: Politik Seksual Film Love for Sale.

“Sebab, sebuah film tidak berhenti sampai ketika film tersebut ditonton atau didistribusikan kepada para pemirsanya saja, melainkan dapat terus mengalir dalam bentuk tulisan meupun karya non-tulisan di era media baru ini dari para kritikus dan pengkajinya, yang nantinya hasil temuannya diharapkan dapat meningkatkan kualitas perfilman Indonesia dan dunia agar semakin lebih baik lagi kedepannya,” ujar Erina ketika menerima Piala Citra di atas panggung.

Penghargaan Benyamin Sueb untuk kategori Aktor Pilihan Penonton diraih oleh Vino G. Bastian dalam film Miracle in Cell no.7, sementara Penghargaan Ratna Asmara untuk kategori Film Pilihan Penonton adalah film Mencuri Raden Saleh yang diproduksi oleh Visinema Pictures dan produser Cristian Immanuel. Kembali ke kategori umum yang tersisa, Makbul Mubarak berhasil meraih penghargaan untuk kategori Penulis Skenario Asli Terbaik untuk film Autobiography. Kategori Penulis Skenario Adaptasi Terbaik dimenangkan oleh Edwin dan Eka Kurniawan untuk film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Film Gimbal, karya alumni IKJ Sidiq Ariyadi, mendapatkan penghargaan untuk kategori Film Dokumenter Pendek Terbaik dan film Ininnawa: An Island Calling memenangkan kategori Film Dokumenter Panjang Terbaik.

Rangkaian acara pun diakhiri oleh empat kategori utama. Tiga kategori yaitu Pemeran Utama Pria Terbaik, Pemeran Utama Perempuan Terbaik, dan Sutradara Terbaik dimenangkan oleh Marthino Lio, Ladya Cheryl, dan Edwin, secara berurutan, untuk film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Film Panjang Terbaik sebagai kategori terakhir dimenangkan oleh film Before, Now & Then (Nana).

Film Before, Now & Then (Nana) dan Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas berhasil mengumpulkan 5 Piala Citra masing-masing. Dengan pencapaian yang monumental ini, perfilman Indonesia senantiasa menunjukkan perkembangannya dalam industri. Namun, apresiasi tertinggi yang ditunjukkan oleh Festival Film Indonesia tahun ini adalah dedikasinya untuk para sineas perempuan yang penuh citra, karya dan kasih.

Sumber Gambar: Dokumentasi Majalah Aksi (M. Sulthan Bahri)

Continue Reading

LIPUTAN

Silang Media “Setelah Lewat Djam Malam”: Dua Media Satu Cerita

Published

on

Silang Media “Setelah Lewat Djam Malam”: Dua Media Satu Cerita

24/11/2022

Sebuah konferensi pers persembahan karya seni bertajuk CollaboNation yang diselenggarakan oleh kawankawan Media yang dihadiri oleh produser, sutradara, perwakilan kementiran kebudayaan dan para pemain.

Merupakan sebuah kolaborasi karya seni yang menyilangkan atau “mengawinkan” antara karya seni film dengan pertunjukan. Dimana dua karya tersebut dipersembahkan secara bersamaan namun dalam panggung pertunjukan.

Film yang disilangkan dengan pertunjukan disini mengambil dari karya film besar Indonesia klasik berjudul Lewat Djam Malam karya sutradara Usmar Ismail dan penulis Asrul Sani. Kemudian diberi judul Setelah Lewat Djam Malam hasil dari persilangan tersebut.

Yulia Evina Bhara selaku produser dari persembahan karya silang media ini mengatakan bahwa persembahan ini merupakan sebuah perayaan kesenian dan juga untuk mengingat sebuah karya film klasik Indonesia yang memiliki nilai estetika dan tema yang sangat penting untuk di masa itu bahkan masa kini dan untuk mempersembahkan kembali, namun dengan media yang baru dimana media yang digunakan untuk persembahan sekarang yaitu dengan menyilangkan seni film tersebut dengan seni pertunjukan.

Film ini sendiri menceritakan kisah ketika Indonesia baru saja memproklamasikan kemerdekaannya dari penjajahan Belanda. Pada masa itu, tentara masih berusaha menguasai keadaan dan menyelenggarakan jam malam di Kota Bandung.

Yudi Ahmad Tajudin selaku sutradara dari pertunjukan ini menjelaskan bahwa persilangan media ini berbeda dengan alih wahana. Dimana pada persilangan media ini, media sebelumnya yang digunakan adalah film, tetap hadir dan ikut dalam persembahan baru setelah disilangkan.

Sutradara melanjutkan bahwa pada persilangannya, media-media ini seperti berdialog dalam suatu persembahan dan keduanya sama-sama menjadi bagian utuh dalam penggung pertunjukan karya seni yang baru.

Lukman Sardi, salah satu pemain dalam pertunjukan, menambahkan bahwa persilangan media ini merupakan sebuah rentetan sejarah tentang kesenian yang mana ia cukup dekat dengan film yang diangkat dan sangat tertarik dengan konsep persilangan media ini.

Persilangan media ini tak hanya menghadirkan panggung pertunjukan namun juga berdampingan dengan film yang diangkat, dimana film akan mempengaruhi pertunjukan dan pertunjukan akan mempengaruhi film.

Pertunjukan silang media ini akan diselenggarakan pada tanggal 2 dan 3 Desember 2022 di Taman Ismail Marzuki (Graha Bhakti Budaya).

Idzhar Abdurroziq – Collaborator Majalah Aksi

Continue Reading

Trending

Daftar News