Connect with us

KRITIK FILM

Lewat Djam Malam: Iskandar yang Ingin Lari dari Kebebasan

Published

on

Lewat Djam Malam: Iskandar yang Ingin Lari dari Kebebasan

Analisis singkat terhadap karakter Iskandar di film Lewat Djam Malam ini merupakan bagian dari skrip pembuka acara diskusi “Mesin Waktu”, yang diadakan oleh Sinemaflex FFTV IKJ pada 26 Maret 2021 dalam rangka peringatan Hari Film Nasional.

Film Lewat Djam Malam ini adalah film yang menarik untuk ditonton. Meskipun dirilis pada tahun 1954, namun situasi yang digambarkan dalam film ini masih lumayan relevan dengan kondisi saat ini. Apalagi ada sesuatu yang paralel dengan situasi pandemi COVID-19, yaitu pemberlakuan jam malam oleh pemerintah. Selain itu, film ini juga membicarakan beberapa isu lain, seperti tentang kemerdekaan/kebebasan, proses adaptasi, dan eksistensi manusia.

Film ini mengingatkan saya pada teori Psikoanalisis Humanistik dari Erich Fromm. Erich Fromm pernah mencetuskan sebuah konsep, yang menurut saya sangat keren, yaitu Escape from Freedom (atau Lari dari Kebebasan). Kebebasan diibaratkan seperti pisau bermata dua, karena bisa menjadi berkah sekaligus musibah. Menurut konsep Escape from Freedom Erich Fromm ini, disebutkan bahwa “ketika terikat (atau terjajah/terpenjara oleh sesuatu), manusia mengidamkan kebebasan; namun ketika kebebasan itu telah berhasil ia raih, manusia ingin kembali terikat”.

Jadi, ada dualitas/dikotomi/paradoks dalam memahami konsep kebebasan manusia. Kurang lebih ini menggambarkan keresahan tokoh protagonis film Lewat Djam Malam yang bernama Iskandar. Saat masa penjajahan, Iskandar adalah seorang tentara pejuang yang berusaha merebut kemerdekaan/kebebasan bagi bangsanya sendiri, bangsa Indonesia. Namun, ketika Indonesia sudah merdeka, Iskandar justru mengalami krisis identitas atau kegamangan eksistensi tentang makna hidupnya. Perubahan zaman seringkali menjadi beban dalam hidup manusia, terutama untuk mendefinisikan posisi manusia tersebut di masyarakat. Jika dulu Iskandar bisa menyebut dirinya tentara pejuang, maka di masa kini dalam film ini Iskandar bingung harus menjadi seperti apa?

Psikoanalis Erich Fromm juga menyebutkan adanya dilema besar yang dialami manusia, yaitu dikotomi terkait kehidupan dan kematian. Manusia ingin hidupnya bermakna dan mencapai aktualisasi diri setinggi mungkin, namun di sisi lain manusia sadar waktunya dibatasi oleh kematian yang bisa datang kapan saja. Dilema ini menyebabkan manusia memiliki kebutuhan eksistensial. Sudah menjadi sifat alamiah manusia untuk bisa menyatu dengan alam, sehingga manusia akan merasa bermakna jika memiliki peran bagi lingkungan sekitarnya. Kebutuhan eksistensial ini bisa dipenuhi misalnya dengan memiliki identitas, tujuan, dan rasa terkoneksi dengan akar kita. Keterikatan atau rasa untuk terkoneksi ini mendorong terciptanya kesatuan manusia dengan lingkungannya.

Krisis identitas dialami oleh seorang mantan pejuang seperti Iskandar di film Lewat Djam Malam, setelah berhasil merebut kemerdekaan untuk lingkungan tempat tinggalnya. Iskandar merasa sulit untuk mendefinisikan identitas barunya di lingkungan tersebut, sehingga ia pun gamang akibat kekosongan tujuan hidup yang seharusnya menjadi koneksi yang mengikat dirinya dengan lingkungannya itu.

Menurut Erich Fromm, satu-satunya cara untuk bisa bersatu dengan lingkungan/orang lain, sekaligus mencapai kebebasan individual adalah melalui cinta. Melalui cinta, dua orang akan menjadi satu namun tetap dua individu yang berbeda. Pada akhir film Lewat Djam Malam, Iskandar menyadari kalau tujuan hidupnya adalah di tokoh Norma, tunangannya. Namun sayangnya, sebelum Iskandar berhasil memenuhi kebutuhan eksistensialnya itu, ia keburu ditembak mati. Film Lewat Djam Malam tak lain merupakan tragedi dari masalah eksistensial yang dialami oleh manusia dalam menghadapi perubahan zaman.

Oleh Erina Adeline Tandian

(Sumber Gambar: Film Lewat Djam Malam, 1954)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

KRITIK FILM

Ringroad: Tentang Penguasaan Struktur Sosial yang Terus Mengitari Kota Besar dan Merugikan Orang-Orang Kelas Bawah

Published

on

Review film Ringroad (JFW)

(Review film Ringroad di pemutaran Road to JFW 2022 bersama FFTV IKJ)

Oleh Mugni Husni Ramdhani

 

Pada tahun ini, Jakarta Film Week (JFW) mengadakan Road to JFW 2022 bersama Fakultas Film dan Televisi IKJ di ruang Sjumandjaja yang dihadiri oleh mahasiswa FFTV IKJ. JFW juga memiliki program talk show dengan tema “film pendek dan sirkulasi panjang” serta pemutaran dua film hasil kerjasama JFW bersama pelaku industri dan komunitas film pada tahun 2021. Film pendek yang ditayangkan salah satunya adalah Ringroad karya sutradara muda Andrew Koes. Bercerita tentang Mulyani seorang asisten rumah tangga (ART) di ibu kota yang memiliki masalah dengan agensi dan berujung pada tindak kejahatan. Film Ringroad menyampaikan topik mengenai kesenjangan sosial yang sering terjadi di kota besar seperti Jakarta. Cerita film dengan tema kesenjangan sosial sudah banyak diangkat oleh filmmaker lokal maupun internasional. Namun, film Ringroad bercerita dengan mengambil sudut pandang yang abu-abu dalam menuturkan cerita.

Film diawali dengan scene Mulyani yang sedang melayani majikan sarapan sambil menggendong dan mengelus anjing kesayangannya. Majikan kemudian memberi perintah kepada Mulyani karena akan pergi ke luar kota. Mulyani lalu menanyakan yang tidak kunjung ia terima selama sepuluh bulan. Namun, sang majikan berkata bahwa ia sudah mengirim uang upah Mulyani kepada agensi sesuai kontrak yang mereka sepakati. Saat membaca kembali kontraknya, Mulyani menyadari bahwa ia ditipu oleh agensi. Pada scene awal kesenjangan sosial sudah digambarkan oleh majikan yang lebih menyayangi seekor anjing, tetapi tidak peduli kepada Mulyani yang memiliki kesulitan secara ekonomi. Meskipun, perlakuan dan tutur masih memanusiakan Mulyani, majikan tetap menutup mata atas permasalahan orang yang membantu pekerjaan rumah tangganya sendiri.

Perilaku tersebut termasuk ke dalam sistem kapitalisme dengan direpresentasikan oleh sang majikan yang mengambil keuntungan banyak dari permasalahan kontrak miliki Mulyani. Sistem kapitalisme biasanya digambarkan dengan manusia kelas atas yang mengutamakan keuntungan semata dan berakibat terjadinya penguasaan struktur sosial. Film ini tidak menceritakan majikan yang menyiksa ART-nya, tetapi berhasil memperlihatkan keironian perbedaan kelas manusia. Pada film ini penguasaan struktur sosial digambarkan dengan majikan yang mendominasi dan membuat Mulyani mengikuti perintah saat di depan majikannya. Namun, Mulyani membangkang saat berada di kamarnya karena masih membutuhkan pekerjaan dan uangnya.

Adanya kekasih Mulyani sebagai tokoh romance pada film, menambah warna cerita karena adanya sedikit ketegangan yang terjadi di dalam film. Kekasih mendorong atau merefleksikan Mulyani untuk mencuri uang yang berada di dalam brankas majikan. Pencurian dilakukan oleh Mulyani di malam hari, saat itu rumah ramai karena anak majikan sedang mengadakan pesta. Mulyani kemudian mengambil uang sesuai dengan jumlah upah yang belum dibayar selama sepuluh bulan dan membiarkan sisa uang tetap berada di brankas. Mulyani tidak ingin menjadi seorang pencuri, ia hanya meminta keadilan walaupun sebenarnya tetap dikatakan sebagai pencuri. Dalih mencari keadilan yang dilakukan Mulyani adalah sebuah penekanan perlawanan yang dilakukan orang kelas bawah. Mulyani menganggap dirinya berhak mendapatkan uang karena tidak dibayar selama sepuluh bulan. Permasalahan ekonomi dan kerasnya hidup salah satu pemicu yang dapat mendorong Mulyani melakukan tindak kejahatan demi bertahan hidup dengan menghalalkan segala cara.

Mulyani berniat akan kabur saat mendapatkan uang, namun niatnya gagal karena kekasihnya penasaran dan ingin mengendarai mobil sport milik anak majikan yang sedang pesta. Mulyani yang awalnya takut berhasil dibujuk kekasihnya untuk mengelilingi kompleks rumah dengan mobil sport. Saat sedang asyik berkeliling, Mulyani dan kekasihnya diberhentikan oleh tetangga dan beberapa satpam. Mulyani dan kekasihnya sangat ketakutan saat dikejar oleh satpam kompleks karena mengira ketahuan mencuri uang majikannya. Padahal, pengejaran dilakukan yang dilakukan tetangganya ternyata perkara kotoran anjing milik majikan Mulyani yang mencemari halaman miliknya. Kekasih Mulyani dibawa keluar dan diamankan para satpam karena bukan warga kompleks. Sedangkan, Mulyani ditegur habis-habisan dengan disebut pembantu yang bodoh dan tidak becus dalam bekerja. Perkataan tetangga yang semena-mena membuat Mulyani melawan, ia tidak terima karena perkara kotoran anjing sampai dikejar-kejar seperti pencuri.

Perkataan kasar tetangga saat memarahi Mulyani mencerminkan atau merepresentasikan penindasan yang sering dilakukan kelas atas kepada kelas bawah. Permasalahan penguasaan struktur sosial dengan adanya dominasi yang dilakukan kelas atas kepada kelas bawah, digambarkan kembali dengan tetangga yang memarahi Mulyani langsung karena seorang ART. Padahal, kasus seperti itu seharusnya dipermasalahkan kepada majikan Mulyani sebagai pemilik anjing. Cerita berlanjut dengan Mulyani yang melawan balik tetangga tersebut karena perkara kecil yang harusnya bisa dibicarakan dengan baik malah seolah dibesar-besarkan. Pada akhirnya, Mulyani tetap ketahuan dan diamankan di pos satpam untuk diperiksa lebih lanjut. Mulyani diinterogasi karena ditemukan membawa banyak uang di dalam ranselnya.

Satpam yang menginterogasi mempersilahkan Mulyani untuk Pergi, namun Mulyani harus meninggalkan uang dalam ransel karena akan dikembalikan kepada pemiliknya. Satpam itu berkata bahwa orang kecil seperti dirinya dan Mulyani tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan kasus membawa kabur uang majikan sering terjadi di kompleks tersebut. Satpam kompleks yang digambarkan sebagai kelas bawah membiarkan kasus yang sama tetap terjadi dan tidak melaporkannya karena merasa tidak memiliki kekuatan untuk melawan. Orang-orang dari kelas bawah memilih untuk melawan sesama kelas bawah agar tidak kehilangan pekerjaan. Kasus seperti yang dialami Mulyani ini sering terjadi di Indonesia, saat orang kelas bawah tertindas maka orang kelas bawah lainnya akan mendukung orang kelas atas demi keuntungan yang diharapkan. Pada akhir film Mulyani dibonceng kekasih menggunakan motor di jalan depan gedung-gedung tinggi Jakarta.

Film ini berhasil menuturkan issue kesenjangan sosial secara konsisten dan dibuat dengan point of view yang tidak berpihak, serta menggambarkan manusia yang tetap memiliki baik buruk dalam kehidupannya. Pembuat film memilih untuk tidak menggambarkan hitam dan putih atau si jahat dan si baik. Film ini juga membuat penonton bebas menginterpretasikan nilai-nilai kebenaran berdasarkan individu masing-masing. Namun, unsur kapitalisme tetap digambarkan banyak merugikan orang-orang kelas bawah, kasus seperti ini akan terus terjadi perputarannya selama adanya penguasaan struktur sosial. Tokoh Mulyani adalah representasi dari orang kelas bawah yang mengalami ketidakadilan karena adanya struktur kapitalisme.

(Sumber Gambar: Film Ringroad, 2021 dari Facebook Pasar Malam)

Continue Reading

KRITIK FILM

Ulasan Film “21” Karya Robert Luketic (2008)

Published

on

Ulasan Film “21” Karya Robert Luketic (2008)

Film ini menceritakan tentang seorang mahasiswa bernama Ben yang sedang menempuh pendidikan di MIT dan ingin melanjutkan ke pendidikan kedokteran Harvard, namun kondisi biaya yang tidak cukup membuat Ben harus mencari solusi atas keinginannya tersebut. Pada akhirnya, ia mencoba untuk menggunakan jalur beasiswa, namun masalahnya persaingan sangat ketat. Ben merupakan mahasiswa kutu buku yang terlihat culun, namun sangat amat pintar. Ia sangat ahli dalam bidang matematika, dan berusaha menikmati hidupnya yang begitu lurus (jauh dari lingkungan buruk).

Saat menjalani suatu kelas di MIT, Ben ternyata menarik perhatian dari salah satu dosennya yang bernama Profesor Micky Rosa karena ia dapat menyelesaikan persoalan yang sangat rumit dengan argumennya yang baik. Kemudian, Profesor Micky Rosa semakin penasaran dengan sosok Ben dan semakin tertarik dengan nilai ujiannya yang juga sangat memukau.

Waktu tenggat semakin dekat dan Ben harus mencari cara agar bisa diterima di pendidikan kedokteran Harvard. Berbagai cara telah ia rencanakan dan pikirkan, mulai dari mencoba kerja sampingan dan menghitung berapa lama ia menerima gaji untuk memenuhi biaya kuliah tersebut dengan otaknya yang cerdas. Saat mencoba jalur beasiswa, Ben harus memiliki cerita hidup, agar kampus tersebut menerima Ben. Namun pengalaman hidup yang biasa saja merupakan masalah bagi Ben tersendiri.

Profesor Micky Rosa ternyata mempunyai suatu rencana, yaitu menyempurnakan tim judi yang ia miliki. Dengan potensi Ben yang sangat ahli menghitung, Profesor Micky Rosa kemudian mengajak Ben untuk bergabung dan menghasilkan uang. Ben pun mendapatkan tawaran tersebut, namun sikap polosnya membuat dirinya menolak tawaran tersebut. Tawaran tersebut padahal sangat berpotensi bagi Ben untuk bisa masuk ke pendidikan kedokteran Harvard, dengan menghasilkan uang yang jauh lebih besar daripada sekedar bekerja paruh waktu.

Pada akhirnya, Ben sangat terdesak dan menerima tawaran dari Profesor Micky Rosa untuk bergabung ke dalam tim judinya. Permainan yang akan dilakukan oleh Ben tersebut adalah Blackjack. Kemampuan dan kecerdasannya sangat menguntungkannya dan timnya untuk mendapatkan keuntungan yang sangat besar, akan tetapi permainan judi tersebut tidak terlepas dari resiko yang juga besar.

Seiring proses Ben belajar dan bermain Blackjack, ternyata dosennya Profesor Micky Rosa sangat mempengaruhi dirinya dalam banyak hal. Mulai dari mengintimidasi, Profesor Micky Rosa mengubah prinsip Ben. Masalah pun menghampiri Ben terus-menerus. Ben mengalami titik berat dalam hidupnya dan mencoba memahami apa yang sudah terjadi.

Ben paham bahwa dosennya, Profesor Micky Rosa, ternyata bukanlah guru yang baik. Ia paham bahwa Profesor Micky Rosa hanya memanfaatkan dirinya. Namun, Ben tidak menyerah begitu saja. Dengan kemampuan dan kepintaran yang ia miliki, Ben berhasil membalaskan dendamnya kepada Profesor Micky Rosa atas hal-hal yang sudah menyakiti Ben.

Dari film “21” ini, poin yang dapat diambil adalah kerendahan hati ternyata penting. Kelebihan yang dimiliki ternyata bisa berdampak banyak hal dan jangan sampai mudah terjebak atau termanipulasi, apalagi terjun dalam suatu masalah yang malah menghancurkan. Bagaimanapun guru tetaplah manusia. Manusia sendiri juga tetap memiliki kelebihan dan kekurangan.

 

Muhammad Abror
1200150064
Kuis Pengantar Psikologi 1, 2022

(Sumber Gambar: Film 21)

Continue Reading

KRITIK FILM

Representasi Pendidikan Asia pada Film 3 Idiots (2009)

Published

on

Representasi Pendidikan Asia pada Film 3 Idiots (2009)

Nama : Muhammad Sulthan Bahri
NIM : 1200150075
Judul : Representasi Pendidikan Asia pada Film
3 Idiots
Telp : 087770307836

 

Film Bollywood ini dulu sering diputar di televisi Indonesia sehingga pesan yang disampaikan pun selalu terngiang di kepala. Film ini bercerita tentang 3 mahasiswa yang bersekolah di salah satu universitas teknik terbaik di India. Adanya embel-embel ‘terbaik’ menjadikan perjalanan mereka selama menjadi mahasiswa tidaklah mudah karena mendapatkan tekanan yang luar biasa.

Film ini sangat merepresentasikan stereotip pendidikan di Asia, di mana kita sebagai orang Asia cenderung mengkultuskan nilai akademik sebagai patokan kesuksesan seseorang. Anak-anak yang tidak memiliki nilai akademik yang baik langsung dianggap tidak akan memiliki masa depan. Padahal, keutamaan belajar terletak pada pemahaman materi dan bukan bergantung pada hafalan yang ditulis dalam bentuk jawaban saat ujian berlangsung.

Peranan orang tua pada film yang menginginkan anaknya sukses akhirnya justru malah menekan anak-anak mereka untuk mendapatkan nilai akademik yang tinggi dengan menyekolahkan mereka ke universitas ternama agar masa depannya terjamin. Orang tua cenderung tidak memerhatikan kondisi anak yang tertekan dengan situasi tersebut dan mementingkan gengsi belaka bahwa mereka berhasil memasukkan anak mereka ke universitas terkemuka.

Karakter Rancho dan Chatur merupakan dua gambaran siswa dengan metode belajar yang berbeda. Rancho dengan quotes andalannya –“Follow excellence and success will follow you.”–memberikan penekanan bahwa dengan menjadi orang yang berbobot maka kita otomatis akan sukses, sedangkan Chatur selalu mengedepankan keahlian hafalan dan mengejar nilai akademik tanpa tahu apa esensi di baliknya.

Di akhir film, Chatur terbukti dengan nilainya akademiknya yang tinggi, sehingga ia menjadi seorang pengusaha yang sukses dan kaya raya, sedangkan Rancho hanyalah seorang guru di sebuah desa terpencil. Apa yang dilakukan Rancho lebih dari sekadar menjadi guru, tetapi juga membuat inovasi-inovasi yang dapat memecahkan masalah serta mempersiapkan generasi berikutnya untuk masa depan mereka dan negara. Keduanya memang meraih kesuksesan, namun kesuksesan yang diraih Chatur terkesan tidak memiliki bobot karena ia tidak mengerti esensi belajar yang sebenarnya. Di sisi lain, Rancho meraih kesuksesan sekaligus membawa orang-orang disekitarnya menuju sukses.

Film ini bisa dijadikan refleksi pendidikan di Asia untuk tidak lagi menjadikan nilai akademik sebagai patokan terjaminnya masa depan seseorang, melainkan menanamkan pentingnya pemahaman dan mampunya pengaplikasian pemahaman tersebut di masyarakat karena siswa-siswa yang sedang duduk di bangku sekolah inilah yang nantinya akan memegang kendali atas negara. Jika dari awal yang dikejar hanya nilai akademik, maka mereka akan selalu mengejar gengsi dan selalu berkompetisi, daripada mementingkan esensi di baliknya.

Continue Reading

Trending

Daftar News