Sejarah
Cikal bakal kelahiran film di dunia telah dirintis oleh orang-orang di daratan Eropa dan Amerika tahun 1890-an–yang secara dominan didasari atas kebutuhan eksperimentasi teknologi.
Sementara di Indonesia, tokoh film Indonesia Usmar Ismail melalui filmnya Darah dan Doa (1950) menjadi penanda dimulainya proses pembentukan identitas nasional. Dari sinilah kemudian mulai banyak bermunculan para pembuat film Indonesia –yang motifnya membuat film atas dasar terus memperjuangkan nasionalisme maupun kebutuhan ekspresi.
Maka untuk tetap mempertahankannya, sekaligus memfasilitasi semangat membuat film dari para calon pembuat film di Indonesia, didirikanlah sekolah film formal bernama Akademi Sinematografi-LPKJ Jakarta sekitar awal tahun 1970, hasil “urun rembug” orang-orang yang memang telah malang-melintang di jagad perfilman Indonesia sejak era sejarah film Indonesia dimulai, seperti D. Djajakusuma, Chalid Arifin, Syumandjaja, Misbach Yusa Biran, D.A Peransi, M.D Alif, Soetomo Gandasoebrata, Soemardjono dan sebagainya. Dari pemikiran-pemikiran merekalah kemudian ribuan mahasiswa diwarisi keahlian dengan spesialisasi yang sangat jelas; Sutradara, Penulis Skenario, Penata Artistik, Penata Kamera, Produser, Penata Suara, Editor, Fotografer, Animator, Kritikus Film dan sebagainya.
Pada awal mula dibentuknya tahun 1971, Akademi ini hanya mempunyai satu program studi yakni Program Studi Sinematografi atau Program Studi Film. Setelah itu menjadi Fakultas yang berdiri sendiri di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), dan bernama Fakultas Film dan Televisi (FFTV).
Berdiri di Lokasi Bersejarah Taman Ismail Marzuki
Areal Gedung FFTV-IKJ, awalnya merupakan lahan dari kediaman tokoh seniman legendaris Indonesia, Raden Saleh (1811-1880). Kemudian, dengan visi seorang Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin (1966-1977), tempat itu “disulap” menjadi pusat kesenian urban dengan nama Taman Ismail Marzuki (TIM). Semenjak itu, Taman Ismail Marzuki menjadi wadah terpusat bagi para seniman untuk berkarya di tengah pusat kota DKI Jakarta. Institut Kesenian Jakarta (termasuk di dalamnya FFTV-IKJ) kemudian didirikan di dalam Kawasan Taman Ismail Marzuki tersebut, yang bertujuan untuk menghasilkan ahil-ahli kreatif di bidang kesenian secara umum, serta di bidang Film dan Televisi secara khusus.
Gedung FFTV IKJ juga terletak di wilayah strategis daerah Cikini-Menteng, Jakarta Pusat, kota DKI Jakarta. Dalam perkembangan sejarahnya, wilayah Jakarta Pusat selalu menjadi barometer kesenian urban, sebut saja; Metropole-Bioskop pertama yang ada di Jakarta, Galeri Nasional yang selalu mengadakan pameran-pameran dengan skala nasional-internasional, kafe-kafe di sepanjang jalan Cikini tempat para seniman urban berkumpul dan berdiskusi, Perpustakaan Nasional yang memiliki koleksi buku terlengkap di Indonesia. Selain itu, terdapat pula taman-taman kota yang sering menjadi ruang kesenian, seperti Taman Suropati dan Taman Menteng.
Dengan situasi tersebut, mahasiswa FFTV-IKJ akan berbaur dengan masyarakat urban, dan mengerti kebutuhan mereka. Pengalaman tersebut akan membantu mahasiswa dalam melahirkan karya seni film, televisi, maupun fotografi, yang mampu memutar roda industri dan kegiatan seni budaya urban.