Connect with us

KRITIK FILM

MESHES OF THE AFTERNOON: Hidup, Mati, dan Hasrat Alam Bawah Sadar

Published

on

MESHES OF THE AFTERNOON

(James Bintang Panglima)

Sinema avant-garde sudah terpancang di Eropa dari tahun 1920-an. Namun, pertumbuhan luar biasa terhadap sinema avant-garde di tahun 1940-an membuatnya akhirnya mendarat di Amerika Serikat. Peningkatan pada era ini disebabkan oleh ketersediaan film stock 16 milimeter yang lebih aksesibel kepada masyarakat. Ditambah dengan mulai munculnya departemen produksi film di berbagai universitas sepanjang Amerika Serikat. Kehadiran avant-garde dalam ekosistem sinema Amerika Serikat berawal muncul pada kota Los Angeles, sepanjang dan khususnya setelah Perang Dunia ke-II.

Film avant-garde Eropa seperti Blood of a Poet (1932) karya Jean Cocteau juga dinobatkan sebagai salah satu pengaruh besar pada pergerakan sinema avant-garde Amerika Serikat. Selain datang dari sinema eksperimental Eropa, penelitian dan perkembangan teori seperti surealisme dan psikoanalisis juga signifikan pada perkembangan ini. Para pembuat film avant-garde pada saat ini kerap menggunakan sinema sebagai medium eksplorasi terhadap elemen atau subjek yang berhubungan dengan mimpi dan alam bawah sadar.

Salah satu seniman film yang kerap dianggap integral dalam perkembangan sinema avant-garde adalah Maya Deren. Nama Deren kini cukup sinonimus bila membicarakan sinema avant-garde. Terbaca dari julukan seperti “The High Priestess of Experimental Cinema” dan “Mother of the Avant-Garde”, impresi yang Deren tinggalkan pada sinema avant-garde dan New American Cinema sangatlah besar.

Film pertamanya, adalah Meshes of the Afternoon (1943). Dapat ditemukan di YouTube, agar lebih memiliki konteks mengenai gaya sinematis Deren, sebaiknya film berdurasi 14 menit ini disaksikan terlebih dahulu. Meskipun tanpa suara maupun musik, film Meshes of the Afternoon sangat menarik untuk dibahas. Setelah menonton, cukup mustahil bila film ini memberi impresi yang membuat kalian bertanya dan berpikir.

Sedikit latar belakang, film Meshes of the Afternoon ditulis, disutradarai, dan dibintangi oleh Deren bersama suaminya pada masa itu; seorang fotografer bernama Alexandr Hackenschmidt (Hammid). Pengkaji dan kritikus film kerap menilai Meshes of the Afternoon sebagai inisiasi atau percikan pertama gerakan sinema avant-garde di Amerika Serikat, dimana segala perkembangan bentuk dan gaya dalam sinema eksperimental Amerika Serikat dapat ditarik kembali ke Deren dan film ini.

Deren memulai karirnya sebagai seorang penyair. Namun, sejak masanya sebagai seorang penyair, Deren sadar bahwa dirinya sudah berpikir dengan cara yang sangat visual. Deren dapat mengambil pengalaman visual dalam benaknya dan kemudian menggunakan puisi sebagai perangkat atau output dari pemikiran visual tersebut. Pada saat dirinya mulai mengulik teknis sinematografi, Deren menyebutkan bahwa dirinya seketika merasa “kembali pulang” dan pada akhirnya menemukan medium sejati untuk digunakan sebagai kendaraan ekspresi artistiknya.

Karena menampilkan pikiran bawah sadar manusia secara puitis melalui fragmen visual, Meshes of the Afternoon dapat diklasifikasikan sebagai film psikodrama. Melalui film ini, Deren mengeksternalisasi proses mental seseorang yang dasarnya terputus-putus ke dalam penggambaran sinematik yang dihidupkan dengan elemen gestur tubuh, efek optik, plot, dan karakterisasi yang eksentris.

Deren sendiri memerankan protagonis dalam film ini, dimana melalui sejumlah repetisi visual dan naratif, sang karakter mengalami ketersesatan batin yang tergambarkan secara visual. Ketersesatan ini memberi impresi kuat yang terngiang sepanjang durasi film. Ditambah dengan fragmentasi mimpi yang ekspresionistik dan kadang absurd, perasaan lain yang timbul dalam penonton adalah disorientasi ruang-waktu, persis dengan apa yang dirasakan oleh protagonis.

Film dibuka dengan protagonis memasuki alam mimpi, menyerupai mimpi buruk, dirinya terus menerus menemukan dirinya tiba-tiba kembali ke rumahnya, dan di antara ini semua, mencoba mengejar seorang makhluk berjubah dengan kepala yang terbuat dari cermin. Dalam sebuah rumah yang terkesan nyaman dan domestik, sang protagonis mengulangi pergerakannya sendiri, mengisi atmosfer film dengan perasaan takut, malapetaka, ketidaknyataan, dan keasingan.

Film ini merupakan contoh baik dari apa yang dimaksud dengan film yang puitis. Sepanjang struktur film, pemahaman lebih banyak didapatkan melalui visual, dan bukan narasi penceritaannya. Dengan jukstaposisi gambar, dapat terlihat bahwa Meshes of the Afternoon menggambarkan dunia alam bawah sadar melalui konsep-konsep yang saling berlawanan atau beroposisi; seperti mimpi dan realitas, kehidupan dan kematian, maskulinitas dan feminitas, rumah dan lautan, dan banyak oposisi lebih subtil lainnya.

Salah satu hal menarik dari Meshes of the Afternoon adalah bahwa film ini merupakan film naratif yang tetap berada di bawah payung avant-garde. Sering ada pandangan bahwa  “Avant-garde is non-narrative”, dan film ini menyangkal konsepsi itu dengan menjadi anomali pertamanya. Kini Meshes of the Afternoon sering dipandang sebagai film naratif pertama dalam sejarah avant-garde Amerika Serikat.

Dalam mencoba membahas film avant-garde seperti Meshes of the Afternoon, perlu digaris bawahi bahwa film seperti ini sangatlah abstrak dan interpretatif. Jauh lebih interpretatif dari film naratif yang umumnya dibahas dalam pengkajian atau analisis film. Dibantu oleh teori, jurnal dan kajian-kajian lainnya, pembahasan dalam artikel ini berdasarkan interpretasi dan pengalaman saya dalam menonton.

Film dibuka dalam “realitas.” Namun, dengan melabelkan awal ini sebagai “realitas” bukan berarti adegan pembuka ini adalah realitas yang realistis. Kata realitas disini berada dalam tanda kutip karena perasaan ambiguitas sepanjang film. Label realitas di sini diberikan demi distingsi titik awal naratif. Pembuka ini menciptakan sebuah landasan untuk kelanjutan film, menciptakan titik mula atau pintu masuk sang protagonis ke dalam “dunia” mimpinya. Deren sendiri menggarisbawahi bahwa film ini berada dalam alam bawah sadar seorang individu, dan sepenuhnya adalah pengalaman emosional seseorang.

Mekanisme oposisi pertama yang muncul dalam film dapat terlihat dalam shot pertama film, dimana sebuah lengan artifisial yang terbuat dari plastik meletakkan setangkai bunga di sebuah dataran aspal. Oposisi atau kontradiksi yang muncul adalah keseimbangan antara kehidupan dan kematian, yang ditandakan dengan sepotong bunga dan sebuah lengan manekin yang terbuat dari plastik. Sepanjang sejarah sastra, bunga kerap digunakan sebagai simbol feminitas, Yunani kuno sering menggunakan mahkota berbunga untuk menghormati para dewi, hingga saat ini, mahkota bunga sering dipakai di pesta pernikahan sebagai simbol kesuburan dan cinta.

Bunga sebagai sesuatu yang hidup dan feminin, dipasangkan dengan sebuah lengan yang artifisial memberikan sebuah tanda bahwa film ini merupakan konflik antara dua hal yang berlawanan. Baik itu kehidupan dan kematian atau maskulinitas dan feminitas.

Pada bagian awal ini, protagonis perempuan muncul hanya sebagai sebuah bayangan di tembok, menciptakan ambiguitas mengenai siapa dirinya. Pergerakan bayangan perempuan ini di atas tembok ini bersifat sangat dinamis, menciptakan disorientasi terhadap bentuk lokasi adegan. Nuansa yang diciptakan berbeda dengan sisa durasi film yang berlatar pada dunia mimpi, khususnya dalam segi sinematografi dan perspektif yang disajikan kepada penonton. Perspektif yang dimaksud adalah bagaimana protagonis seakan-akan disembunyikan, dan penampilannya hanya terlihat utuh saat berada di alam mimpi. Hal ini menunjukkan bagaimana hanya citra atau “bagaimana dirinya melihat dirinya sendiri” yang disajikan sepanjang film.

Adegan awal ini juga adalah pertama kali properti “kunci” muncul sebagai sebuah ikonografi. Sepanjang film, kunci digambarkan lebih dari sekadar benda, namun kunci dalam maknanya yang lebih simbolis. Kunci sebagai sebuah benda memiliki dua konotasi kuat, yaitu kebebasan dan penahanan. Bagi seseorang, kunci dapat mengeluarkan mereka dari penahanan menuju kebebasan, atau memasukkan mereka dari kebebasan menuju penahanan.

Bagaimana film ini berlatar sebuah rumah domestik, penahanan yang dimaksud adalah pernikahan atau kehidupan domestik suami istri.  Pernikahan sebagai sebuah konsep sering dipandang sebagai suatu hal yang membatasi seseorang dari kebebasan. Setelah maskulinitas dan feminitas, ini adalah kali kedua dari munculnya sebuah oposisi dalam film ini.

Saat protagonis masuk ke dalam rumah, sebuah pisau terjatuh di atas meja merepresentasikan maskulinitas, baik dari segi kegunaannya dalam realitas yang seringnya dianggap maskulin, dan bentuk memanjangnya yang phallus. Lalu, sebuah piringan hitam yang dimatikan melambangkan siklus kehidupan atau waktu yang terus menerus mengulang.

Elemen dalam “realitas” adegan pertama muncul terus menerus menghantui mimpinya, dimana dalam realitas dirinya melihat seorang pria di hadapannya saat berjalan menuju rumahnya. Dalam mimpi, pria itu berubah menjadi seorang makhluk berjubah dengan kepala cermin.

Sang protagonis mengejar makhluk berwajah cermin adalah gagasan Deren mengenai konsep “refleksi diri”. Bagaimana sebagai manusia kita kerap mencoba untuk memahami diri sendiri, dan cermin adalah simbol dari itu. Di sisi lain, makhluk berjubah hitam ini juga adalah representasi dari kematian. Secara wujud, makhluk ini menyerupai Grim Reaper sebagai karakter populer yang merupakan personifikasi dari kematian. Pada saat protagonis bersikeras untuk menghampirinya dan bercermin, hal ini menunjukkan keinginan kelam alam bawah sadarnya untuk mengakhiri hidupnya. Hal ini sejalan dengan hasrat psikologis seseorang yang berada dalam depresi kuat. Secara psikologis, seringnya tendensi untuk mengakhiri hidup datang dari impuls alam bawah sadar.

Namun, bila kita kembali ke naratif, sang protagonis terus gagal menghadapi makhluk ini. Sang protagonis terus menemukan dirinya kembali ke dalam rumah atau dalam konteks simboliknya “kehidupan domestik” yang menjadi penghalang utamanya dari refleksi diri atau di sisi lain mengakhiri hidupnya. Bagaimana hasrat alam bawah sadar sang protagonis terhalang oleh rutinitas domestik, serta keberadaannya sebagai seorang istri.

Meshes of the Afternoon adalah film yang menawarkan banyak kemungkinan interpretasi yang bergantung pada cara pandang kita terhadapnya. Jika kita fokus pada feminisme, film ini bercerita tentang seorang wanita yang terperangkap dalam masyarakat patriarki, dan apabila kita fokus pada sejarah film, Meshes of the Afternoon adalah film yang berupaya untuk memutuskan segala konvensi Hollywood.

Diskusi Meshes of the Afternoon dalam kajian film avant-garde kerap dibentuk oleh persona eksentrik Deren sebagai kreator. Deren adalah jantung dari film ini. Namun, setelah rilis dan mendapatkan tanggapan baik dari publik, muncul wacana dari Deren untuk mengeliminasi dirinya dari diskursus utama yang datang dari film tersebut. Hal ini karena meskipun film ini ditulis, disutradarai, dan dikonsepkan bersama suaminya, Hammid, Meshes of the Afternoon terus dianggap sebagai film Deren, dengan konotasi Deren sebagai kreator tunggal.

Meskipun beberapa pihak sempat mengatakan bahwa Hammid lebih berperan sebagai penata kamera, sedangkan Deren berperan sebagai sutradara dan konseptor, narasi ini dibantahkan oleh anak Hammid yang mengatakan bahwa ini tidak sepenuhnya betul, dan mereka lebih bekerja secara kolaboratif. Deren sendiri membuat storyboard untuk semua filmnya dengan sangat detail, meliputi pergerakan kamera dan efek optik. Dirinya bahkan menulis dengan rinci proses filmmaking pada sebuah majalah produksi film profesional. Oleh karena itu, film ini seringnya diatribusikan kepada Deren sebagai sutradara. Diskursus ini berhenti pada saat Hammid meluruskan dengan mengakui Deren sebagai sutradara tunggal Meshes of the Afternoon.

Deren sebagai salah satu pelopor sinema avant-garde Amerika berhasil mengambil pengaruh dari hari-harinya sebagai penyair, tetapi pada saat yang sama menciptakan sesuatu yang benar-benar baru dan inovatif. Kualitas Deren dalam menerapkan elemen naratif ke dalam sinema avant-garde terus menginspirasi banyak pembuat film modern yang memiliki gairah untuk bereksperimentasi.

Tidaklah sulit untuk melihat film-film sutradara David Lynch seperti Inland Empire (2006), Lost Highway (1997) dan Mulholland Drive (2001) sebagai homage atau hasil pengaruh dari Meshes of the Afternoon. Lynch dan Deren memiliki pola naratif yang sama, menciptakan kesan ambiguitas dan ketersesatan melalui eksperimentasi-eksperimentasi naratif. Pada tahun 1986, American Film Institute menciptakan penghargaan yang dijuluki nama “Maya Deren Award” untuk menobatkan pembuat-pembuat film independen di Amerika Serikat.

Kembali ke Meshes of the Afternoon, tidak salah jika menganggap film ini sebagai film yang cukup suram. Namun di balik kesuraman itu, film ini menggambarkan bagaimana jika kita mencoba mengamati hal-hal dari luar tubuh kita, kita dapat menyadari bagaimana kehidupan dan kematian, sebagai lawan yang kontradiktif, pada dasarnya ada di tangan kita sendiri.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

KRITIK FILM

Lewat Djam Malam: Iskandar yang Ingin Lari dari Kebebasan

Published

on

Lewat Djam Malam: Iskandar yang Ingin Lari dari Kebebasan

Analisis singkat terhadap karakter Iskandar di film Lewat Djam Malam ini merupakan bagian dari skrip pembuka acara diskusi “Mesin Waktu”, yang diadakan oleh Sinemaflex FFTV IKJ pada 26 Maret 2021 dalam rangka peringatan Hari Film Nasional.

Film Lewat Djam Malam ini adalah film yang menarik untuk ditonton. Meskipun dirilis pada tahun 1954, namun situasi yang digambarkan dalam film ini masih lumayan relevan dengan kondisi saat ini. Apalagi ada sesuatu yang paralel dengan situasi pandemi COVID-19, yaitu pemberlakuan jam malam oleh pemerintah. Selain itu, film ini juga membicarakan beberapa isu lain, seperti tentang kemerdekaan/kebebasan, proses adaptasi, dan eksistensi manusia.

Film ini mengingatkan saya pada teori Psikoanalisis Humanistik dari Erich Fromm. Erich Fromm pernah mencetuskan sebuah konsep, yang menurut saya sangat keren, yaitu Escape from Freedom (atau Lari dari Kebebasan). Kebebasan diibaratkan seperti pisau bermata dua, karena bisa menjadi berkah sekaligus musibah. Menurut konsep Escape from Freedom Erich Fromm ini, disebutkan bahwa “ketika terikat (atau terjajah/terpenjara oleh sesuatu), manusia mengidamkan kebebasan; namun ketika kebebasan itu telah berhasil ia raih, manusia ingin kembali terikat”.

Jadi, ada dualitas/dikotomi/paradoks dalam memahami konsep kebebasan manusia. Kurang lebih ini menggambarkan keresahan tokoh protagonis film Lewat Djam Malam yang bernama Iskandar. Saat masa penjajahan, Iskandar adalah seorang tentara pejuang yang berusaha merebut kemerdekaan/kebebasan bagi bangsanya sendiri, bangsa Indonesia. Namun, ketika Indonesia sudah merdeka, Iskandar justru mengalami krisis identitas atau kegamangan eksistensi tentang makna hidupnya. Perubahan zaman seringkali menjadi beban dalam hidup manusia, terutama untuk mendefinisikan posisi manusia tersebut di masyarakat. Jika dulu Iskandar bisa menyebut dirinya tentara pejuang, maka di masa kini dalam film ini Iskandar bingung harus menjadi seperti apa?

Psikoanalis Erich Fromm juga menyebutkan adanya dilema besar yang dialami manusia, yaitu dikotomi terkait kehidupan dan kematian. Manusia ingin hidupnya bermakna dan mencapai aktualisasi diri setinggi mungkin, namun di sisi lain manusia sadar waktunya dibatasi oleh kematian yang bisa datang kapan saja. Dilema ini menyebabkan manusia memiliki kebutuhan eksistensial. Sudah menjadi sifat alamiah manusia untuk bisa menyatu dengan alam, sehingga manusia akan merasa bermakna jika memiliki peran bagi lingkungan sekitarnya. Kebutuhan eksistensial ini bisa dipenuhi misalnya dengan memiliki identitas, tujuan, dan rasa terkoneksi dengan akar kita. Keterikatan atau rasa untuk terkoneksi ini mendorong terciptanya kesatuan manusia dengan lingkungannya.

Krisis identitas dialami oleh seorang mantan pejuang seperti Iskandar di film Lewat Djam Malam, setelah berhasil merebut kemerdekaan untuk lingkungan tempat tinggalnya. Iskandar merasa sulit untuk mendefinisikan identitas barunya di lingkungan tersebut, sehingga ia pun gamang akibat kekosongan tujuan hidup yang seharusnya menjadi koneksi yang mengikat dirinya dengan lingkungannya itu.

Menurut Erich Fromm, satu-satunya cara untuk bisa bersatu dengan lingkungan/orang lain, sekaligus mencapai kebebasan individual adalah melalui cinta. Melalui cinta, dua orang akan menjadi satu namun tetap dua individu yang berbeda. Pada akhir film Lewat Djam Malam, Iskandar menyadari kalau tujuan hidupnya adalah di tokoh Norma, tunangannya. Namun sayangnya, sebelum Iskandar berhasil memenuhi kebutuhan eksistensialnya itu, ia keburu ditembak mati. Film Lewat Djam Malam tak lain merupakan tragedi dari masalah eksistensial yang dialami oleh manusia dalam menghadapi perubahan zaman.

Oleh Erina Adeline Tandian

(Sumber Gambar: Film Lewat Djam Malam, 1954)

Continue Reading

KRITIK FILM

Ringroad: Tentang Penguasaan Struktur Sosial yang Terus Mengitari Kota Besar dan Merugikan Orang-Orang Kelas Bawah

Published

on

Review film Ringroad (JFW)

(Review film Ringroad di pemutaran Road to JFW 2022 bersama FFTV IKJ)

Oleh Mugni Husni Ramdhani

 

Pada tahun ini, Jakarta Film Week (JFW) mengadakan Road to JFW 2022 bersama Fakultas Film dan Televisi IKJ di ruang Sjumandjaja yang dihadiri oleh mahasiswa FFTV IKJ. JFW juga memiliki program talk show dengan tema “film pendek dan sirkulasi panjang” serta pemutaran dua film hasil kerjasama JFW bersama pelaku industri dan komunitas film pada tahun 2021. Film pendek yang ditayangkan salah satunya adalah Ringroad karya sutradara muda Andrew Koes. Bercerita tentang Mulyani seorang asisten rumah tangga (ART) di ibu kota yang memiliki masalah dengan agensi dan berujung pada tindak kejahatan. Film Ringroad menyampaikan topik mengenai kesenjangan sosial yang sering terjadi di kota besar seperti Jakarta. Cerita film dengan tema kesenjangan sosial sudah banyak diangkat oleh filmmaker lokal maupun internasional. Namun, film Ringroad bercerita dengan mengambil sudut pandang yang abu-abu dalam menuturkan cerita.

Film diawali dengan scene Mulyani yang sedang melayani majikan sarapan sambil menggendong dan mengelus anjing kesayangannya. Majikan kemudian memberi perintah kepada Mulyani karena akan pergi ke luar kota. Mulyani lalu menanyakan yang tidak kunjung ia terima selama sepuluh bulan. Namun, sang majikan berkata bahwa ia sudah mengirim uang upah Mulyani kepada agensi sesuai kontrak yang mereka sepakati. Saat membaca kembali kontraknya, Mulyani menyadari bahwa ia ditipu oleh agensi. Pada scene awal kesenjangan sosial sudah digambarkan oleh majikan yang lebih menyayangi seekor anjing, tetapi tidak peduli kepada Mulyani yang memiliki kesulitan secara ekonomi. Meskipun, perlakuan dan tutur masih memanusiakan Mulyani, majikan tetap menutup mata atas permasalahan orang yang membantu pekerjaan rumah tangganya sendiri.

Perilaku tersebut termasuk ke dalam sistem kapitalisme dengan direpresentasikan oleh sang majikan yang mengambil keuntungan banyak dari permasalahan kontrak miliki Mulyani. Sistem kapitalisme biasanya digambarkan dengan manusia kelas atas yang mengutamakan keuntungan semata dan berakibat terjadinya penguasaan struktur sosial. Film ini tidak menceritakan majikan yang menyiksa ART-nya, tetapi berhasil memperlihatkan keironian perbedaan kelas manusia. Pada film ini penguasaan struktur sosial digambarkan dengan majikan yang mendominasi dan membuat Mulyani mengikuti perintah saat di depan majikannya. Namun, Mulyani membangkang saat berada di kamarnya karena masih membutuhkan pekerjaan dan uangnya.

Adanya kekasih Mulyani sebagai tokoh romance pada film, menambah warna cerita karena adanya sedikit ketegangan yang terjadi di dalam film. Kekasih mendorong atau merefleksikan Mulyani untuk mencuri uang yang berada di dalam brankas majikan. Pencurian dilakukan oleh Mulyani di malam hari, saat itu rumah ramai karena anak majikan sedang mengadakan pesta. Mulyani kemudian mengambil uang sesuai dengan jumlah upah yang belum dibayar selama sepuluh bulan dan membiarkan sisa uang tetap berada di brankas. Mulyani tidak ingin menjadi seorang pencuri, ia hanya meminta keadilan walaupun sebenarnya tetap dikatakan sebagai pencuri. Dalih mencari keadilan yang dilakukan Mulyani adalah sebuah penekanan perlawanan yang dilakukan orang kelas bawah. Mulyani menganggap dirinya berhak mendapatkan uang karena tidak dibayar selama sepuluh bulan. Permasalahan ekonomi dan kerasnya hidup salah satu pemicu yang dapat mendorong Mulyani melakukan tindak kejahatan demi bertahan hidup dengan menghalalkan segala cara.

Mulyani berniat akan kabur saat mendapatkan uang, namun niatnya gagal karena kekasihnya penasaran dan ingin mengendarai mobil sport milik anak majikan yang sedang pesta. Mulyani yang awalnya takut berhasil dibujuk kekasihnya untuk mengelilingi kompleks rumah dengan mobil sport. Saat sedang asyik berkeliling, Mulyani dan kekasihnya diberhentikan oleh tetangga dan beberapa satpam. Mulyani dan kekasihnya sangat ketakutan saat dikejar oleh satpam kompleks karena mengira ketahuan mencuri uang majikannya. Padahal, pengejaran dilakukan yang dilakukan tetangganya ternyata perkara kotoran anjing milik majikan Mulyani yang mencemari halaman miliknya. Kekasih Mulyani dibawa keluar dan diamankan para satpam karena bukan warga kompleks. Sedangkan, Mulyani ditegur habis-habisan dengan disebut pembantu yang bodoh dan tidak becus dalam bekerja. Perkataan tetangga yang semena-mena membuat Mulyani melawan, ia tidak terima karena perkara kotoran anjing sampai dikejar-kejar seperti pencuri.

Perkataan kasar tetangga saat memarahi Mulyani mencerminkan atau merepresentasikan penindasan yang sering dilakukan kelas atas kepada kelas bawah. Permasalahan penguasaan struktur sosial dengan adanya dominasi yang dilakukan kelas atas kepada kelas bawah, digambarkan kembali dengan tetangga yang memarahi Mulyani langsung karena seorang ART. Padahal, kasus seperti itu seharusnya dipermasalahkan kepada majikan Mulyani sebagai pemilik anjing. Cerita berlanjut dengan Mulyani yang melawan balik tetangga tersebut karena perkara kecil yang harusnya bisa dibicarakan dengan baik malah seolah dibesar-besarkan. Pada akhirnya, Mulyani tetap ketahuan dan diamankan di pos satpam untuk diperiksa lebih lanjut. Mulyani diinterogasi karena ditemukan membawa banyak uang di dalam ranselnya.

Satpam yang menginterogasi mempersilahkan Mulyani untuk Pergi, namun Mulyani harus meninggalkan uang dalam ransel karena akan dikembalikan kepada pemiliknya. Satpam itu berkata bahwa orang kecil seperti dirinya dan Mulyani tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan kasus membawa kabur uang majikan sering terjadi di kompleks tersebut. Satpam kompleks yang digambarkan sebagai kelas bawah membiarkan kasus yang sama tetap terjadi dan tidak melaporkannya karena merasa tidak memiliki kekuatan untuk melawan. Orang-orang dari kelas bawah memilih untuk melawan sesama kelas bawah agar tidak kehilangan pekerjaan. Kasus seperti yang dialami Mulyani ini sering terjadi di Indonesia, saat orang kelas bawah tertindas maka orang kelas bawah lainnya akan mendukung orang kelas atas demi keuntungan yang diharapkan. Pada akhir film Mulyani dibonceng kekasih menggunakan motor di jalan depan gedung-gedung tinggi Jakarta.

Film ini berhasil menuturkan issue kesenjangan sosial secara konsisten dan dibuat dengan point of view yang tidak berpihak, serta menggambarkan manusia yang tetap memiliki baik buruk dalam kehidupannya. Pembuat film memilih untuk tidak menggambarkan hitam dan putih atau si jahat dan si baik. Film ini juga membuat penonton bebas menginterpretasikan nilai-nilai kebenaran berdasarkan individu masing-masing. Namun, unsur kapitalisme tetap digambarkan banyak merugikan orang-orang kelas bawah, kasus seperti ini akan terus terjadi perputarannya selama adanya penguasaan struktur sosial. Tokoh Mulyani adalah representasi dari orang kelas bawah yang mengalami ketidakadilan karena adanya struktur kapitalisme.

(Sumber Gambar: Film Ringroad, 2021 dari Facebook Pasar Malam)

Continue Reading

KRITIK FILM

Ulasan Film “21” Karya Robert Luketic (2008)

Published

on

Ulasan Film “21” Karya Robert Luketic (2008)

Film ini menceritakan tentang seorang mahasiswa bernama Ben yang sedang menempuh pendidikan di MIT dan ingin melanjutkan ke pendidikan kedokteran Harvard, namun kondisi biaya yang tidak cukup membuat Ben harus mencari solusi atas keinginannya tersebut. Pada akhirnya, ia mencoba untuk menggunakan jalur beasiswa, namun masalahnya persaingan sangat ketat. Ben merupakan mahasiswa kutu buku yang terlihat culun, namun sangat amat pintar. Ia sangat ahli dalam bidang matematika, dan berusaha menikmati hidupnya yang begitu lurus (jauh dari lingkungan buruk).

Saat menjalani suatu kelas di MIT, Ben ternyata menarik perhatian dari salah satu dosennya yang bernama Profesor Micky Rosa karena ia dapat menyelesaikan persoalan yang sangat rumit dengan argumennya yang baik. Kemudian, Profesor Micky Rosa semakin penasaran dengan sosok Ben dan semakin tertarik dengan nilai ujiannya yang juga sangat memukau.

Waktu tenggat semakin dekat dan Ben harus mencari cara agar bisa diterima di pendidikan kedokteran Harvard. Berbagai cara telah ia rencanakan dan pikirkan, mulai dari mencoba kerja sampingan dan menghitung berapa lama ia menerima gaji untuk memenuhi biaya kuliah tersebut dengan otaknya yang cerdas. Saat mencoba jalur beasiswa, Ben harus memiliki cerita hidup, agar kampus tersebut menerima Ben. Namun pengalaman hidup yang biasa saja merupakan masalah bagi Ben tersendiri.

Profesor Micky Rosa ternyata mempunyai suatu rencana, yaitu menyempurnakan tim judi yang ia miliki. Dengan potensi Ben yang sangat ahli menghitung, Profesor Micky Rosa kemudian mengajak Ben untuk bergabung dan menghasilkan uang. Ben pun mendapatkan tawaran tersebut, namun sikap polosnya membuat dirinya menolak tawaran tersebut. Tawaran tersebut padahal sangat berpotensi bagi Ben untuk bisa masuk ke pendidikan kedokteran Harvard, dengan menghasilkan uang yang jauh lebih besar daripada sekedar bekerja paruh waktu.

Pada akhirnya, Ben sangat terdesak dan menerima tawaran dari Profesor Micky Rosa untuk bergabung ke dalam tim judinya. Permainan yang akan dilakukan oleh Ben tersebut adalah Blackjack. Kemampuan dan kecerdasannya sangat menguntungkannya dan timnya untuk mendapatkan keuntungan yang sangat besar, akan tetapi permainan judi tersebut tidak terlepas dari resiko yang juga besar.

Seiring proses Ben belajar dan bermain Blackjack, ternyata dosennya Profesor Micky Rosa sangat mempengaruhi dirinya dalam banyak hal. Mulai dari mengintimidasi, Profesor Micky Rosa mengubah prinsip Ben. Masalah pun menghampiri Ben terus-menerus. Ben mengalami titik berat dalam hidupnya dan mencoba memahami apa yang sudah terjadi.

Ben paham bahwa dosennya, Profesor Micky Rosa, ternyata bukanlah guru yang baik. Ia paham bahwa Profesor Micky Rosa hanya memanfaatkan dirinya. Namun, Ben tidak menyerah begitu saja. Dengan kemampuan dan kepintaran yang ia miliki, Ben berhasil membalaskan dendamnya kepada Profesor Micky Rosa atas hal-hal yang sudah menyakiti Ben.

Dari film “21” ini, poin yang dapat diambil adalah kerendahan hati ternyata penting. Kelebihan yang dimiliki ternyata bisa berdampak banyak hal dan jangan sampai mudah terjebak atau termanipulasi, apalagi terjun dalam suatu masalah yang malah menghancurkan. Bagaimanapun guru tetaplah manusia. Manusia sendiri juga tetap memiliki kelebihan dan kekurangan.

 

Muhammad Abror
1200150064
Kuis Pengantar Psikologi 1, 2022

(Sumber Gambar: Film 21)

Continue Reading

Trending

Daftar News