Connect with us

SERBA-SERBI

Nan Triveni Achnas: Menjadi Sutradara yang Memahami Kajian Film

Published

on

Nan Triveni Achnas: Menjadi Sutradara yang Memahami Kajian Film

“Dari The Jakarta Post ke Institut Kesenian Jakarta”

 

Tim Majalah Aksi (MA) mendapatkan kesempatan untuk mewawancarai sutradara perempuan Indonesia bernama Nan Triveni Achnas (NTA) di Sekolah Pascasarjana, Institut Kesenian Jakarta. Perbincangan ini berfokus pada peran sutradara serta pentingnya mempelajari kajian film, berdasarkan pengalaman beliau saat berkuliah dan memproduksi film. Berikut adalah hasil wawancara kami:

MA: Saat memutuskan untuk menjadi sutradara, kenapa mau masuk Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta (FFTV IKJ)? Apa yang menjadi pencetusnya dan seperti apa hambatannya saat itu?

NTA: Ayah saya itu sutradara film di Singapura dan di Malaysia. Dari kecil, kita nonton film yang tidak biasa. Waktu itu, ke kedutaan-kedutaan, ke cultural center untuk menonton film yang tidak mainstream. So, dari kecil sudah agak beda ya dengan teman-teman saya yang nonton di bioskop saja. Tapi, kita tidak pernah diperbolehkan untuk ikut shooting. So, itu yang terjadi. Setelah itu, saya sebenarnya mau jadi penulis, mau jadi wartawan. Kemudian, kita semua pindah dari Kuala Lumpur, Malaysia (ke Indonesia). My first job is in The Jakarta Post and I met Debra Yatim [menunjuk ke salah satu tim Majalah Aksi]. Hahaha… Then, I found out that writing wasn’t enough. Saya dari dulu suka bikin cerpen, tulisan, and my idea is always image-based. Kemudian, cari-cari sekolah. Sekolah film satu-satunya cuma ada di IKJ (pada saat itu), di Southeast Asia.

MA: Southeast Asia?

NTA: Di Kuala Lumpur tidak ada, di Singapura tidak ada.

MA: Waktu itu namanya masih Akademi Sinematografi ya?

NTA: Waktu itu sudah Fakultas Film dan Televisi, kalau gak salah. Sebelumnya LPKJ (Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta) ya? Setelah itu ya sudah, saya keluar dari The Jakarta Post kemudian masuk IKJ. Saya kan juga freelance di The Jakarta Post. Tapi, sejak itu ya, menggeluti dunia film documentary dari semester satu.

MA: Ada berapa perempuan yang menjadi mahasiswa FFTV IKJ saat itu?

NTA: Tiga.

MA: Tiga? Dari jumlahnya?

NTA: Dari tiga puluh.

MA: Yah, sekitar sepuluh persen.

NTA: Tapi yang masuk ke film cuma saya.

MA: Kenapa?

NTA: Karena saya juga tidak masuk ke film yang mainstream. Saya masuk ke yang documentary. Kemudian, bikin film (fiksi) langsung waktu itu film Kuldesak dengan orang-orang yang tidak masuk dalam Perfilman Nasional pada saat itu, karena ada sistem jenjang–you have to be production assistant dulu tiga kali, penulis skrip tiga kali, astrada tiga kali, baru (bisa) jadi sutradara. So, itu sistem yang kita tolak sama sekali, makanya muncul lah Kuldesak.

MA: Kapan membuat Kuldesak?

NTA: Kuldesak… Saya baru pulang dari Inggris (setelah mendapatkan master’s degree). Master’s (degree) saya itu Film Studies, satu-satunya (lulusan jurusan tersebut) di Indonesia. I was the first (yang masuk jurusan) kajian film gitu. Saya diwawancara dua kali, karena orang Inggris itu couldn’t figure out, saya sudah bikin film nih, ngapain saya mau belajar teorinya? Film theory itu bukan teori untuk membuat film, tapi ya kajian gitu. So, on another second interview, (they asked) “why do you learn film theory when you know how to make films?” Pada akhirnya, masuk ke sekolah Inggris, yang mana pada saat itu juga sedikit universitas yang memiliki kajian film.

MA: Waktu itu apa universitasnya?

NTA: University of East Anglia. Dosen saya itu ya the proponents of feminist film theories–Pam Cook, Laura Mulvey, dan lainnya. Setelah Claire Johnston, it’s Pam Cook, then Laura Mulvey. Secara urutan early feminist film theorists, that’s the order. Nah, Laura Mulvey sama Pam Cook itu satu angkatan, Claire Johnston is the senior person.

MA: Itu jadi dari sebagai praktisi di Indonesia, S1 di Indonesia, kemudian pergi ke Inggris?

NTA: D3.

MA: Oh, D3? Loncat (jenjang), jadi tidak lewat S1 dulu, tapi langsung?

NTA: Saya loncat (jenjang). Saya diterima di master’s (degree) dengan D3 saya.

MA: Apa yang menjadi motivasi untuk akhirnya mengambil S2 Film Studies?

NTA: Good question. Karena dulu itu kan jarang kita bisa menonton film bagus. Filmnya Kurosawa and all that cuma bisa dapat kalau ada pemutaran di Japan Foundation or whatever. Itu kan juga selected–it’s not something that you can selalu akses gitu, datang karena mau nonton film yang sangat spesifik, dan tidak bisa diulang. So, saya belajar penyutradaraan dari buku teori.

MA: Nah, itu rasanya gimana? Ada lompatan quantum dari cara pengajarannya?

NTA: Ya. Masuk ke Inggris, ternyata you have to read like thirty books ya sebelum masuk ke dalam S2. So, I did a lot of reading, I just read di perpustakaan, gak keluar-keluar. Pada akhirnya, ya sudah. I wanted to do something about Indonesia, tapi dulu tidak ada Internet segala macam, so saya bikin contemporary British cinema.

MA: Sebagai tesis?

NTA: Iya. Specifically, race in contemporary British cinema.

MA: Race tentang apa?

NTA: Studi kasusnya film The Crying Game. It’s about this, a trans(gender) person (who) passes as a woman, (who) falls in love with this man. And, my supervisor was Andrew Higson, who wrote about national cinema di UK.

MA: Kalau Laura Mulvey itu sebagai seorang intelektual, sangat rigorous kan?

NA: It’s just her way aja.

MA: Itu hanya style?

NTA: It’s a style. She appears that, but she is absolutely not. That’s just how she appears. Dia itu memang terkenal. She’s extremely intelligent. You got Peter Wollen, right? Peter Wollen is Laura Mulvey’s husband. So, at that point, mereka bikin film untuk membuktikan teori. But, it didn’t work, because you can’t do that.

MA: You can’t?

NTA: No, I mean, it was the show itself sebagai pembuktian teori. Specifically, untuk membuktikan sebuah teori akan kelihatan signposted. Makanya, secara karya, itu gak ke mana-mana filmnya. I haven’t seen it, I would love to see it.

MA: Jadi, teori dituangkan ke dalam film itu tidak bisa, tapi film dituangkan ke teori harusnya bisa?

NTA: Now, having said that, seorang sutradara yang punya pengetahuan ataupun kajian film akan membuat film itu lebih berarti, memiliki lapisan arti, lebih berbobot, karena dia tahu bagaimana penonton akan membaca film. Seharusnya begitu. Kayak si Jane Campion, she knows film theory. Sally Potter, she knows. They know the film theory. So, membuat filmnya itu beda.

MA: Ada contohnya?

NTA: Sally Potter‘s Orlando, that is signposted. This is voyeurism, this is passing, this is this, semacamnya. Makanya, sampai sekarang, filmnya itu bisa bikin usage for feminist film theory.

MA: Tapi secara film, apakah tidak terlalu sukses?

NTA: Film itu sukses.

MA: Oh, jadi bisa signposting di dalam film itu sukses?

NTA: Bisa. Pasir Berbisik, for me, it’s signposted. Hahaha…

MA: Tapi, apa yang membuat Laura Mulvey gagal dan ini sukses?

NTA: I don’t know. I haven’t seen the film. I’d love to see the film kenapa film itu gagal. Kenapa tidak diambil as an entertainment for a specific audience? Tapi, kenapa it just didn’t just go there? I just want to prove that theory saja sih sebenarnya–if you deliberately bikin film untuk membuktikan sebuah teori, jadi kaku dia. Itu kan sama seperti mengilustrasikan sebuah buku, sebuah statement sebenarnya.

MA: Correct me if I’m wrong, para teoretikus Cahiers du Cinema (seperti Truffaut, Godard, dan kawan-kawan) habis bikin theory after theory, lalu mereka tuangkan dalam film?

NTA: Itu sih memang, you can not… You use theory to make a film, not (make film to) prove a theory. Beda ya.

MA: You use theory to make a film?

NTA: Truffaut, Godard–they use knowledge of theory to make a film. Kalau membuktikan kan sama saja dengan membuat instructional. Apakah si Laura Mulvey tahu? Makanya, dia tidak ada usaha untuk menunjukkan filmnya atau…

MA: Mungkin dia sadar.

NTA: Mungkin dia sadar.

MA: Seperti padanannya dalam sastra Indonesia itu Sutan Takdir Alisjahbana. Teks-teksnya mungkin kurang nikmat untuk dibaca karena dia mau menyampaikan sebuah polemik. Dia ingin menyampaikan sebuah pernyataan.

NTA: Persis Sjumandjaja.

MA: Sjumandjaja seperti itu?

NTA: I have seen his films, Budak Nafsu, for example. Semua film dia itu, semua tokoh itu menyerukan, menggunakan kalimatnya Sjumandjaja (untuk) mengomentari terhadap kekuasaan, terhadap Orde Baru, terhadap Suharto, and all that. Dan, itu very typical film Indonesia pada saat itu–karena kita tidak bisa mengutarakan opini, digunakanlah karakter-karakter film untuk menunjukkan statementstatement.

MA: Sukses gak film itu?

NTA: It was successful. Have you seen it?

MA: I have seen it. But, for you, does it work?

NTA: It works in the level of entertainment sih sebenarnya. But, if you see it in terms of ideology, karena di film kan kelihatan sidik jarinya sutradara. It’s like writing, it’s like WhatsApp. Who uses tanda seru, who uses emoticons, siapa yang menggunakan titik-titik, kan it reflects on how the character of the person is. Film juga begitu. So, you can see seorang sutradara, dia narsis kah? He hates women kah? Atau apa, itu akan kelihatan.

MA: Sekarang, kita beranjak kembali ke persoalan menjadi perempuan, yang pasti minoritas di dalam bidang yang didominasi laki-laki ini. Apapun yang dilakukan perempuan menghadapi tembok yang namanya glass ceiling. Apakah dulu dan sekarang suasananya berubah atau sama aja?

NTA: Totally berubah. So, pada saat kita buat film, setelah Kuldesak, kan kita masing-masing membuat film. Dan, di Kuldesak itu banyak sekali core decision makersthe production managers, the producers, segala macam–itu perempuan. So, there’s a new glass ceiling. So, we were the…

MA: The glass ceiling?

NTA: We were the ceiling!

MA: Kalau kampus waktu itu bagaimana?

NTA: Kampus juga ya itu, tetap sedikit (mahasiswa perempuannya). Kayak Mira (Lesmana), who was in angkatan di bawahku, ya there were only three people juga. Tapi gak tahu, harusnya lebih banyak ya? Ternyata nggak. It’s the same.

MA: Jadi, di angkatan 2019 FFTV IKJ, mahasiswa perempuan yang memilih jadi sutradara hanya sekitar tiga orang, sedangkan yang lain lebih memilih peminatan editing atau skenario. Jadi, perempuan bukan pengambil keputusan. How do you look at that from your point of view?

NTA: I think there should be mahasiswanya sendiri. Kualitas mahasiswanya sendiri sebenarnya untuk masuk, apakah mereka mau membuat film atau tidak? Because, men and women, it takes a lot of energy and obsession, single-mindedness untuk menjadi sutradara, laki-laki maupun perempuan.

MA: Seperti mahasiswa yang laki-laki awalnya banyak yang mau jadi sutradara, lalu pas udah semester peminatan cuma sedikit ya karena balik ke diri sendiri?

NTA: Balik ke diri sendiri. It’s like if you have this single-mindedness and stubbornness and whatever, then you’ll be fine, be a sutradara. Makanya, even if mereka dapat mayor penyutradaraan, pada akhirnya masuk ke produksi. To have that singular-mindedness mission, it takes a lot, men or women.

MA: Jadi sebetulnya, ini yang menendang orangnya itu adalah si bidangnya sendiri ya bukan gendernya?

NTA: Not so. (Jika bicara soal) gender, sekarang juga kamera sekecil itu [menunjuk ke kamera mirrorless tim Majalah Aksi] juga bisa bikin film. So, it’s not that anymore, nothing to do with physical differences anymore, tapi kan has to do with attitude. Jadi sutradara beratnya itu ya itu. You have to be so focused in the work. Especially, di masyarakat kita tetap saja ada tuntutan get married, get kids. It takes a lot.

MA: Ada peran orang tua? Apakah ada bearing?

NTA: Yes, for the students, yes. Not for me. My dad was a feminist.

MA: Your mom? How did your mom take it?

NTA: My mom… She was worried because she knew what it would take with my dad. Nothing to do with you being a girl. Gitu aja. Her support will be that, always the pillar. But, you need that. Laki-laki maupun perempuan–you have to get your whole family be supportive of your work.

MA: Kita balik lagi soal women in film. Adakah wacana untuk bikin mata kuliah, misalnya women in film atau yang fokus ke situ?

NTA: I think it also has something to do with interest. For me, it’s something I’ve always been interested in since I was young. Kalau di sini, waktu aku bikin film ujian, (someone said)hey, you need to make film about women!” (Then) I said “nah!Karena ada tuntutan itu, why should I conform to the stereotype seorang sutradara perempuan harus bikin tentang perempuan? So, I did (a film) about a man, of course. Hahaha… You know, kayak si Jane Campion making a film about gay cowboy. Yeay!

MA: Jadi, women in film atau women studies in film itu masih ada kemungkinan?

NTA: Ada. For me, I had to teach kajian itu harus semuanya, because there was nobody else pada saat itu. Tapi, memang feminist film theory secara khusus is my emphasis, because it was my responsibility to teach this sutradara, that you know (for example) “you can not use that shot for women!” That was my job to change mindset sutradara. Karena dulu, penyutradaraan itu dapat teori film.

MA: Sekarang, angkatan baru yang sekolah film belum tentu membaca body of work, body of knowledge yang mahasiswa peminatan kajian dapat.

NTA: I guess I could’ve fought for it if I was in the system. But you know, I’m not a system kind of person. But, I keep telling setiap kali ujian, I say “you know why kenapa mereka tidak ada bobotnya? Karena tidak ada teori film.”

MA: Itu sayang ya?

NTA: That’s a tragedy.

MA: Kita sekarang akan bahas tentang anti-pornoaksi dan anti-pornografi. Misalnya, penari Bali harus tutup bahunya atau perempuan Aceh harus pakai jilbab kalau dia mau jadi penyanyi dan penari. Kan itu semangat undang-undangnya dan banyak orang yang menentang. But, you, as an academic person, what was in your mind?

NTA: It’s a person’s right aja. I remember in The Jakarta Post, how it started in terms of my awareness of how the ideology pada saat itu yang menentukan hijab. So, aku dikirim (bertugas) saat ada demo itu di Dikbud. Itu demo perempuan SMA yang merasa mereka berhak pakai jilbab di sekolah. Terus aku pulang, semangat kan. (Tiba-tiba, aku dikasih tahu) “Nan, gak bisa dimuat, Nan. Setneg nelpon.” Kok bisa gitu ya Indonesia? So then, I said “you have the right to wear whatever you want to school.” There are people who’ll say that you can’t wear this or that because of their personal prejudices or beliefs. And, I thought it’s wrong.

MA: Jangan-jangan ini yang menjadi pertarungan di dalam konten film yang akan datang?

NTA: Yeah, you’re correct. Karena di Kuldesak, ada satu bagian yang disensor. Yang disensor itu adalah my part. Harry Dagoe sama tokoh itu, they kiss in the bus. The only scene in Kuldesak yang harus dipotong adalah itu. It was a gay kiss. So, in the end, what we did was we dissolved that (scene) untuk penayangan di Indonesia saja. Kalau di luar negeri, itu tidak dipotong, which makes it absurd, right? So, itu berarti censorship berlaku hanya saat di sebuah ruang dan waktu yang sangat spesifik dan tidak di tempat lain. Itu berarti kan sebuah pembuktian bahwa it depends on who was watching the film.

MA: Tapi, ini jadi sebuah permasalahan yang harus kita waspadai bersama?

NTA: Yes! It’s like what Korea did. Dulu kan sensor mereka sangat ketat. Adegan seks itu tidak boleh. And then, you know, how did they beat the giants of the world itu sejak the Seoul Olympics. Semuanya itu kan berubah bagi mereka–everything that has to do with censorship. If you want to rule the world, hal-hal (terkait sensor) yang seperti itu–haknya orang untuk berpendapat, orang menggunakan ABC-nya untuk bercerita–harus dihapuskan. Nah, itu yang terjadi sekarang. Ya, sekarang gak bisa, karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. It is absurd that anybody with a handphone, a four or five years old can access the Internet.

MA: Terakhir. According to you, female gaze, does it exist?

NTA: No. Because, my thesis was about the politics of identity and the hyphenated identity itu lah yang akan menonton. So, it’s not female, it’s not male, it could be homosexual, it could be a certain age–all these will come into play when a person watches a film. Sebenarnya, male gaze diformulasikan karena sebuah observasi terhadap film-film Hollywood pada saat itu. But, it’s only from Hollywood loh, film Hollywood tertentu. Tapi, itu dikutip, because it’s a very attractive theory. I’m all for revising Laura Mulvey’s theory, yang mana dia sendiri revisi.

MA: Okay, sehingga sesungguhnya teori male gaze tahun 1975 itu sebetulnya kita bisa anggap berlaku, misalnya di film India atau film Turki?

NTA: Masih berlaku dengan whatever film. Teori kan sebenarnya, you can do cherry-picking. So, kajian ya seperti itu. Masih berlaku.

MA: Tapi, sudah waktunya ada perkembangan dari teori tersebut?

NTA: What about a Javanese gaze yang sebenarnya tidak menatap orang kan? But, if you use that, you can use it in your analysis yang sebenarnya tidak melihat orang. So, it’s still valid! Semua teori kan valid. It’s about how you develop, how you use it, how to make it your own.

MA: Okay, thank you for your time.

NTA: It’s fine.

 

(Sumber gambar: Dokumentasi Majalah Aksi. Interviewer: Debra Helen Yatim & James Bintang Panglima. Transcriber: Mulia Arham Hermudia. Supervisor/editor: Erina Adeline Tandian)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

SERBA-SERBI

5 Rekomendasi Film tentang Kesehatan Mental

Published

on

5 Rekomendasi Film tentang Kesehatan Mental

Majalah Aksi

Hari Kesehatan Mental Sedunia diperingati setiap tanggal 10 Oktober. Ada berbagai macam gangguan mental yang mungkin dialami oleh manusia. Tema kesehatan mental sendiri diceritakan dengan baik dalam sejumlah film. Pada artikel kali ini, Majalah Aksi ingin memberikan lima rekomendasi tontonan, yang mengisahkan tokoh dengan gangguan mental, pilihan Erina Adeline Tandian, S.Psi, M.Sn (Dosen Pengantar Psikologi FFTV IKJ). Seringkali, orang salah kaprah dalam memahami jenis-jenis gangguan mental, misalnya saja kebingungan dalam membedakan gangguan skizofrenia dan kepribadian ganda. Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan beberapa macam gangguan mental melalui contoh film.

  1. A Beautiful Mind (2001)

Film ini disutradarai oleh Ron Howard dan naskahnya ditulis berdasarkan buku berjudul sama. A Beautiful Mind diangkat dari kisah nyata seorang ahli matematika bernama John Nash. John Nash adalah seorang mahasiswa cerdas penerima beasiswa Universitas Princeton pada tahun 1940-an. Setelah lulus, ia bekerja di Institut Teknologi Massachusetts. Suatu hari, ia bertemu dengan seorang agen Departemen Pertahanan Amerika Serikat bernama William Parcher, yang mengajak John Nash untuk memecahkan kode rahasia Uni Soviet. Sebenarnya, William Parcher adalah salah satu dari tiga teman khayalan John Nash. Dua orang teman khayalan lainnya adalah Charles dan keponakannya yaitu Marcee, yang mendukung John Nash untuk menikah dengan Alicia. Setelah menikah, paranoia yang dialami oleh John Nash memburuk. Ia merasa diikuti oleh agen Uni Soviet bernama dr. Rosen, yang sebenarnya adalah seorang psikiater. Awalnya, John Nash menolak untuk meminum obat-obatan yang diberikan dr. Rosen. Namun, setelah tidak sengaja menyakiti istri dan anaknya, John Nash yang berotak cerdas menyadari kalau Marcee tidak pernah menua, sehingga ia akhirnya menerima bahwa dirinya mengalami gangguan mental. Pada 1994, John Nash menerima penghargaan Nobel dan kembali bertemu dengan ketiga teman khayalannya. Namun, mereka hanya terdiam pada jarak yang jauh, menandakan bahwa John Nash sudah bisa mengontrol gejala gangguan yang dialaminya.

John Nash didiagnosis dengan gangguan skizofrenia paranoida (schizophrenia paranoid). Gejala gangguan ini antara lain adalah delusi, halusinasi, serta paranoia atau ketakutan yang tidak wajar. Dalam kasus yang dialami John Nash, salah satu gejala skizofrenia yang muncul adalah melalui kehadiran tiga orang teman khayalan, yang hanya bisa dilihat olehnya saja. Ketiga teman khayalan ini bisa muncul pada saat bersamaan dan saling berinteraksi, sehingga inilah yang membedakan gangguan skizofrenia dengan kepribadian ganda.

  1. Split (2016)

Film yang disutradarai oleh M. Night Shyamalan ini memiliki dua pemeran dengan acting yang memukau, yaitu James McAvoy dan Anya Taylor-Joy. Film ini mengisahkan tentang Kevin, seseorang yang memiliki 23 kepribadian lain (alter ego) dan menjalani perawatan seorang psikoterapis bernama dr. Karen Fletcher. Suatu hari, Dennis yang merupakan salah satu kepribadian lain Kevin menculik tiga orang perempuan bernama Claire, Cassey, dan Marcia. Selain Dennis, dua kepribadian lain Kevin yang cukup sering muncul adalah perempuan bernama Patricia dan bocah bernama Hedwig. Dr. Karen Fletcher berusaha mencegah kemunculan The Beast, yaitu kepribadian Kevin ke-24 berupa binatang yang bisa membunuh manusia.

Split adalah salah satu film yang cukup tepat dalam menggambarkan gangguan kepribadian ganda (dissociative identity disorder atau multiple personality disorder). Sesuai namanya, gangguan kepribadian ganda menyebabkan seseorang bisa memiliki kepribadian lain yang tidak disadari oleh orang tersebut. Film lain tentang gangguan ini, yaitu Identity (2003), menggambarkan kepribadian satu dan yang lainnya bisa saling berjumpa, bahkan saling membunuh, serta diperankan oleh aktor/aktris yang berbeda-beda, padahal seharusnya tidak demikian. Pada orang dengan gangguan ini, satu kepribadian biasanya hanya muncul di satu waktu, sedangkan kepribadian yang lain mengalami semacam blackout. Split dianggap cukup berhasil dalam menggambarkan kepribadian ganda sebab semua kepribadian yang dimiliki tokoh Kevin diperankan oleh aktor yang sama, sampai pada adegan ketika beberapa kepribadian Kevin seolah-olah saling berinteraksi melalui cermin. Meskipun demikian, gangguan kepribadian ganda masih terus diteliti oleh para ilmuwan untuk mengetahui apakah terdapat perkembangan gejalanya.

  1. The Silence of the Lambs (1991)

Netflix baru saja merilis serial yang diangkat dari kisah nyata Jeffrey Dahmer, seorang pembunuh berantai yang memutilasi dan memakan korbannya. Jauh sebelum serial ini dirilis, ada sebuah film yang cukup popular pada era 1990-an tentang kisah serupa yaitu The Silence of the Lambs. The Silence of the Lambs mengisahkan tokoh fiktif bernama dr. Hannibal Lecter, seorang mantan psikiater sekaligus pembunuh berantai yang mendapatkan julukan Hannibal si Kanibal. Film psychological thriller ini disutradarai oleh Jonathan Demme dan diangkat dari novel berjudul sama. Alur ceritanya kurang lebih mengisahkan seorang detektif bernama Clarice Sterling yang ditugaskan untuk mewawancarai Hannibal Lecter. Tujuan mewawancarai mantan psikiater ini adalah karena Clarice Sterling sedang menyelidiki kasus serupa yang dilakukan oleh ‘Buffalo Bill’, pembunuh berantai yang gemar menguliti korbannya seperti domba. Saat putri seorang senator diculik oleh ‘Buffalo Bill’, Clarice Sterling dan Hannibal Lecter terlibat dalam sebuah negosiasi untuk saling membantu satu sama lain. Clarice Sterling berusaha membohongi Hannibal Lecter, namun rupanya sang narapidana lebih manipulatif dari yang dikira. Hannibal Lecter diterbangkan ke daerah Memphis, namun ia justru menyiksa Senator Martin, sehingga dirinya dipenjara di Tennessee. Setelah memberikan informasi kepada Clarice Sterling tentang ‘Buffalo Bill’ dan menceritakan kisah traumatis masa kecilnya tentang jeritan domba, Hannibal Lecter berhasil kabur dari penjara dengan memutilasi penjaga.

Hannibal Lecter mengalami gangguan kepribadian antisosial (antisocial personality disorder). Gangguan kepribadian antisosial sering menjadi salah kaprah. Setiap mendengar kata “antisosial”, kita mungkin akan mendefinisikannya sebagai sifat orang yang tidak suka berinteraksi sosial dengan orang lain. Gangguan kepribadian antisosial sebenarnya lebih merujuk pada apa yang sering disebut sebagai sociopath (atau sering rancu disebut dengan istilah psychopath), yaitu orang yang melakukan kriminalitas untuk kesenangan semata karena tidak peduli dengan perasaan orang lain. Hal ini terlihat dari ekspresi datar tanpa rasa takut yang ditampilkan Hannibal Lecter setiap membunuh orang lain. Gejalanya antara lain adalah sering berbohong, bersikap tidak sopan, kasar, agresif, sulit berempati, melakukan tindakan melawan hukum, serta menggunakan karismanya untuk memanipulasi orang lain. Di sini menjadi jelas bahwa orang dengan gangguan kepribadian antisosial justru tidak anti terhadap interaksi sosial, melainkan justru sengaja berinteraksi dengan orang lain untuk tujuan menyakitinya demi kesenangan.

  1. The Aviator (2004)

Film biopik yang disutradarai oleh Martin Scorsese ini diangkat dari buku non-fiksi berjudul Howard Hughes: The Secret Life, berdasarkan kisah nyata seorang penerbang bernama Howard Hughes. Howard Hughes bukanlah pilot biasa karena ia memiliki ketertarikan besar terhadap dunia perfilman dan permasalahan psikologis. Pada usia 8 tahun, ibu Howard Hughes memandikannya dengan cara berlebihan akibat takut tertular wabah kolera. Setelah dewasa, Howard Hughes terobsesi dengan perfilman setelah film The Jazz Singer rilis. Ia memiliki ambisi untuk membuat film secara realistis dan memiliki suara. Film yang diproduksi olehnya mencapai kesuksesan, namun Howard Hughes justru masih tidak puas dan masih ingin menyempurnakannya lagi akibat terlalu perfeksionis. Howard Hughes juga sering mengulang-ulang kata/kalimat yang sama. Obsesinya terhadap kerapian dan kebersihan juga seringkali menghambat hidupnya dan menyebabkan dirinya cemas berlebihan. Bahkan, Howard Hughes menolak membantu seorang bapak tua difabel di toilet akibat takut dengan kuman. Pada tahun 1940-an, Howard Hughes menandatangani kontrak dengan Angkatan Udara Amerika Serikat, namun produksi film tersebut tertunda akibat kecelakaan. Kondisi mental Howard Hughes juga semakin parah dan menyebabkan dirinya mengisolasi diri di rumah.

Howard Hughes mengalami gangguan obsesif kompulsif (obsessive compulsive disorder atau sering disingkat sebagai OCD). Beberapa orang mungkin saja mengalami gejala OCD selama pandemi COVID-19 karena meningkatnya rasa takut terpapar virus, sehingga menjadi lebih sering cuci tangan. Meskipun demikian, orang-orang tersebut belum tentu bisa dikatakan mengalami OCD sebab hanya sebatas gejala sesaat. Orang bisa dikatakan mengalami OCD jika gejala ini muncul dalam jangka panjang. Gejala OCD antara lain adalah kemunculan pikiran berulang yang menyebabkan kecemasan, terobsesi dengan kebersihan dan/atau kerapian, melakukan kegiatan repetitif/berulang, sering mengecek sesuatu, menimbun barang-barang tertentu, dan sebagainya. Pada film The Aviator, Howard Hughes hobi cuci tangan berlebihan dan tidak mau memegang gagang pintu dengan tangan kosong. Hal ini dikarenakan ia takut dengan kuman, akibat perlakuan ibunya yang memandikan dirinya secara berlebihan saat kecil. Di suatu adegan, rumah Howard Hughes tampak berantakan dan kotor, padahal ia adalah orang yang terobsesi pada kebersihan. Ini merupakan suatu hal yang wajar terjadi pada penderita OCD sebab dalam pikirannya, ia berusaha untuk menjaga tubuhnya tetap bersih, meskipun tindakan tersebut justru mengorbankan lingkungannya menjadi terlihat jorok, akibat keengganan orang tersebut dalam berkontak langsung dengan sampah yang dihasilkannya sendiri.

  1. I Used to Be Famous (2002)

Film ini memiliki kemasan yang jauh lebih ringan dibandingkan keempat film yang telah disebutkan sebelumnya. I Used to be Famous adalah film drama musikal produksi Netflix yang disutradarai oleh Eddie Sternberg. Film ini mengisahkan seorang laki-laki mantan personil boyband yang terkenal pada masa remajanya di tahun 2022 bernama Vince Denham. Dua puluh tahun setelah keluar dari band Stereo Dream, Vince Denham hidup seorang diri dalam kondisi ekonomi yang berkekurangan. Vince Denham mencoba menawarkan diri untuk mengisi pertunjukan musik di sejumlah kafe/bar, namun tidak ada yang menyukai musiknya. Suatu ketika, Vince Denham latihan di pinggir jalan, diikuti oleh seorang remaja laki-laki berpenampilan canggung bernama Stevie, yang mengetuk-ngetuk besi tempat sampah menggunakan stik drum. Awalnya, Vince Denham merasa terganggu oleh perilaku Stevie, namun ketukan stik drum Stevie rupanya terdengar harmonis dengan musik yang sedang dimainkan Vince Denham, sehingga orang-orang di sekitar mereka mulai terhibur. Penampilan mereka diintervensi oleh Amber, ibu Stevie, yang mengajak putranya pulang. Stevie selalu menghindari kontak mata dan memiliki masalah komunikasi dengan orang lain. Kemudian, Vince Denham berusaha mencari Stevie dan menemukannya di sebuah komunitas perkusi khusus orang-orang yang mengalami permasalahan psikologis serupa, yang dijalankan oleh laki-laki bernama Dia. Dia mengajak Vince Denham untuk bergabung dengannya. Seiring waktu, Dia melihat bakat guru musik dalam diri Vince Denham dan memintanya untuk meneruskan pekerjaannya. Sementara itu, Vince Denham dan Stevie bergabung dalam duo musik bernama Tin Men. Mereka berusaha untuk mencari wadah untuk tampil di sejumlah tempat. Sayangnya, penampilan Stevie dianggap aneh oleh seorang laki-laki yang mabuk di sebuah bar, sehingga Vince Denham terpaksa menghajarnya. Amber kecewa dengan sikap Vince Denham dan melarangnya untuk bertemu Stevie lagi. Namun, Stevie masih ingin bermain musik dengan Vince Denham dan keduanya kembali menjalin persahabatan mereka. Persahabatan ini diuji ketika Vince Denham harus memilih untuk melanjutkan karirnya di Tin Men bersama Stevie atau kembali tampil bersama salah satu rekannya di Stereo Dream yang masih terkenal di industri musik.

Stevie mengalami gangguan spektrum autisme (autism spectrum disorder). Gangguan psikologis ini menyebabkan seseorang memiliki masalah atensi dan kesulitan dalam mempertahankan fokusnya. Pada kasus Stevie, ia seringkali kesulitan untuk menjaga tempo bermain drumnya saat sedang bermusik dengan orang lain seperti Vince Denham. Gejala austime biasanya sudah muncul ketika seseorang masih kecil, sehingga orang tua dari anak dengan autisme akan bersikap sangat protektif, seperti yang dilakukan Amber terhadap Stevie. Gejala lain dari gangguan ini adalah masalah komunikasi, yang mana terlihat dari perilaku Stevie yang menghindari kontak mata. Orang dengan autisme juga senang melakukan kegiatan repetitif, sehingga tidak mengherankan bila Stevie memiliki hobi bermain drum, sebagai penyaluran keinginannya untuk melakukan ketukan yang berulang. Film I Used to be Famous menjadi gambaran bahwa seni bisa menjadi terapi untuk gangguan psikologis yang dialami oleh manusia.

Setelah menonton film-film rekomendasi ini, apakah kalian sudah bisa mengenali beberapa gejala gangguan mental yang ada serta tahu perbedaannya?

(Sumber Gambar: Film A Beautiful Mind, 2001; Split, 2016; The Silence of the Lambs, 1991; The Aviator, 2004; I Used to be Famous, 2002)

Continue Reading

SERBA-SERBI

Dibalik Setiap Trailer: Serba-Serbi Seni Pemasaran Film

Published

on

Trailer film adalah pintu gerbang pertama menuju kisah yang akan kita saksikan di layar lebar. Namun, dibalik setiap cuplikan itu, terdapat seni pemasaran yang kompleks dan strategis. Artikel ini akan mengupas serba-serbi seni pemasaran film melalui lensa trailer, menjelajahi teknik-teknik yang digunakan untuk memikat penonton dan menciptakan antisipasi yang mendalam.

1. Potongan Cerita yang Menggoda

Trailer film bukan hanya sekadar kumpulan adegan tanpa arah. Mereka secara cerdik memilih potongan cerita yang dapat menggoda rasa ingin tahu penonton tanpa mengungkapkan terlalu banyak. Kesimpulan yang ditarik dari trailer dapat memicu ketertarikan yang mendalam terhadap alur cerita utama.

2. Musik dan Suara yang Membangun Atmosfer

Elemen audio dalam trailer memiliki peran penting. Pilihan musik, suara, dan efek suara dapat menciptakan atmosfer yang sesuai dengan genre dan nada film. Suara gelap atau musik yang dramatis dapat membangkitkan emosi yang diinginkan oleh pemasar.

3. Penyuntingan yang Efektif

Trailer adalah seni penyuntingan yang efektif. Penyuntingan yang cermat memilih adegan dan merangkainya dengan cepat untuk menarik perhatian penonton. Pemilihan momen klimaks dan pemotongan yang tajam menciptakan ketegangan yang diperlukan.

4. Pilihan Visual yang Menarik

Visual adalah daya tarik utama trailer. Dengan tata letak visual yang dinamis dan estetika yang memikat, trailer memberikan sekilas tentang keindahan dan kekuatan sinematografi film. Poster dan judul yang menarik juga berperan dalam menciptakan identitas visual yang kuat.

5. Pemasaran Melalui Teaser

Teaser trailer adalah senjata rahasia pemasar. Mereka memberikan cuplikan singkat yang cukup untuk menarik perhatian tanpa memberikan terlalu banyak detail. Dengan merilis teaser sebelum trailer resmi, pemasar menciptakan buzz yang mendorong keingintahuan.

6. Strategi Pemasaran Online

Dunia digital memberikan platform luar biasa untuk memasarkan trailer. Melalui media sosial, situs web resmi, dan platform streaming, trailer dapat mencapai audiens yang lebih luas. Strategi pemasaran online yang cerdas dapat membangun antusiasme sebelum perilisan.

7. Konteks dan Pendekatan Genre

Setiap genre film memerlukan pendekatan pemasaran yang berbeda. Trailer komedi mungkin fokus pada momen-momen lucu, sementara trailer drama menonjolkan emosi. Memahami konteks dan karakteristik genre adalah kunci untuk merancang trailer yang efektif.

Dibalik setiap trailer film, terdapat seni pemasaran yang tidak boleh dianggap enteng. Trailer adalah alat penting untuk menarik perhatian penonton, menciptakan ekspektasi, dan memastikan film mendapat sorotan yang layak. Melalui potongan cerita, pilihan audio-visual, dan strategi pemasaran yang cerdas, seni pemasaran film membuktikan bahwa keindahan dapat ditemukan bahkan dalam cuplikan singkat yang dibuat untuk merayu dan memikat kita.

Continue Reading

Trending

Daftar News